CHAPTER TIGA BELAS

561 103 4
                                    

Meja rias Kai tidak kosong lagi. Ada beberapa botol yang kini berjejer rapi di atas meja. Ia menatap ke cermin dan mengingat berbagai macam pembicaraannya dan Fattah saat kembali ke kedai dari outlet itu.

Fattah memberitahu bagaimana memakai produk-produk itu. Bagaimana urutannya dan mana saja yang harus dipakai pagi dan malam. Masih segar dalam ingatannya bagaimana Fattah terlihat sangat bersemangat. Persis seperti sales-sales yang sedang memaksa kita membeli produknya. Tapi toh ia mendengarkannya dengan sangat baik dan mengingat-ingat. Hingga akhirnya mobil ayahnya berhenti di depan kedai dan ia pulang.

Kai sudah selesai memakai moisturizer dan sunscreen. Kini ia menatap sebuah liptint yang kemarin ia beli. Liptint pilihan Fattah. Yang laki-laki itu bilang bagus dan tidak akan terlalu mencolok baginya. Gadis itu menimang. Ia ingin memakainya, tapi ragu. Pasti akan terlihat aneh di mata orang lain. Tidak pernah ada yang melihatnya memakai itu dan warna senetral apapun pasti akan sangat terlihat perbedaannya.

Tapi, ia ingat kalimat Fattah semalam. Lo nggak usah mikirin bokap lo dan perempuan itu. Kalau lo belum dikenalin, mungkin hubungan mereka belum sedekat itu. Bokap lo tahu kapan waktu yang baik buat ngenalin lo. Sekarang lo fokus aja sama diri lo sendiri, atau sama Kak Rayi.

Sebelah tangan Kai akhirnya terulur untuk mengambil liptint itu dan memakainya tipis-tipis. Ia menatap wajahnya di cermin. Rambut sebahunya sudah dikuncir kuda. Jerawat di dahi sudah mengempes. Bintik-bintik memerah bekas jerawat masih dipipinya. Jelas tidak bisa hilang hanya dengan sekali pakai skincare. Ia harus lebih telaten dan menggunakannya setiap hari. Jangan lupa double cleansing. Reapply sunscreen setiap tiga jam sekali. Rajin mencuci wajah dan menggunakan moisturizer agar wajahnya terhidrasi. Itu kata-kata Fattah. Ia tahu mengurus wajah memang seribet itu dan ia akan memulainya sekarang. Ia ingin wajahnya cukup enak untuk dilihat.

karena gue merasa semuanya harus dirawat. Itu bentuk rasa sayang gue sama diri gue sendiri. Ia ingat kata-kata Fattah lagi dan tersadar ada terlalu banyak yang ia ingat tentang laki-laki itu.

Setelah memeriksa sekali lagi isi ranselnya, ia keluar dari kamar dan pergi ke dapur. Ayahnya ada di sana, tengah menatap serius layar ponselnya. Ia mendekat, menyapa dan duduk di seberang ayahnya.

"Pagi..." Marco menengadah dan menatap anak semata wayangnya. Garis bibirnya naik dan membentuk senyuman. Ia menatap anaknya lamat-lamat.

Kai menunduk. Merasa risih ditatap sedemikian rupa.

"Aneh ya, Pa?" Kai bertanya dengan nada ragu. Jika ayahnya bilang ia terlihat aneh, ia akan langsung menghapus warna di bibirnya.

"Nggak kok." Marco langsung menggeleng, "kamu cantik."

Kai tersenyum. Wajahnya bersemu merah.

"Pa, uang jajan Kai kayaknya nggak akan cukup sampai akhir bulan deh." adu Kai. Ia tidak pernah tahu kalau produk-produk itu bisa menguras uang jajannya. Fattah dengan tidak tahu dirinya mengambil ini dan itu dan memintanya membayar.

"Nggak apa-apa. Nanti Papa transfer ya." kata Marco. Terlihat sangat senang melihat perubahan anaknya.

***

Kai perlu menarik napas panjang sebelum masuk ke dalam kedai. Ia menekan handle pintu dan masuk ke kedai yang masih sepi, tapi Rayi ada di sana. Berdiri di meja kasir dan tengah membaca bundelan kertas di tangannya. Ia mendekat dengan langkah pelan dan merasakan detak jantungnya mulai menggila.

"Pagi..." Laki-laki itu menengadah dan tersenyum pada Kai yang berdiri di depannya.

Kai membalas lalu memesan, "ice americano, Kak." katanya. Rayi menekan-nekan tombol di mesin kasir dan menyebutkan sejumlah yang harus dibayar. Kai merogoh saku dan mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari sana.

Three Little Words [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang