Kai memajang semua foto ibunya di kamar. Berderet di meja belajar, nakas, dinding dan segala tempat tersisa. Ia ingin melihat foto itu saat membuka mata, dan menjadi yang terakhir ia lihat saat menutup mata.
Suara ketukan di pintu mengalihkan pandangannya dari bingkai di tangannya. Ia mempersilakan dan melihat kepala ayahnya menyembul di balik pintu.
"Belum tidur?" Marco masuk. "Papa mau ngomong sebentar, boleh?" Ia menarik kursi lalu duduk di samping ranjang anaknya.
"Kai kangen sama Mama." lirih gadis itu. "Papa bisa ceritain sedikit nggak, tentang Mama." pintanya.
Marco menelan ludah dan berpikir, hingga akhirnya mengangguk pelan sambil tersenyum. Ia mengambil tempat di samping anaknya dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Ia mengambil foto dari tangan anaknya. Foto Sofi. Wanita yang ia kenal sejak di bangku kuliah.
Sudah dua puluh tahun. Tidak banyak yang ia ingat tentang wanita itu. Tapi, Kai punya hak untuk mendengar semua cerita tentang ibunya. Dan menjadi tugasnya untuk mengingatkan gadis itu semua tentang ibunya.
"Waktu hamil, Mama kamu sama sekali nggak ngerasain mual parah kayak orang hamil biasanya. Kamu kuat banget." Marco bisa melihat senyum terukir di bibir anaknya. "Mama kamu excited banget belajar parenting. Beli banyak buku, ikut kelas, dan segala macam. Dia pingin jadi ibu yang baik buat kamu." Marco berhenti sebentar. Di tatapannya Kai yang duduknya kini berpindah di depannya. "Mama kamu pengin banget punya foto keluarga." Marco menarik napas panjang.
"Satu-satunya keinginan Mama kamu yang belum bisa Papa kabulin ya itu, buat foto keluarga."
Tiba-tiba saja berbagai kenangan masuk ke pikiran Marco. Silih berganti, "waktu Papa mau jadi fotografer, Kakek kamu sempat nggak setuju. Katanya jadi fotografer itu nggak ada masa depannya. Tapi Mama kamu tetap dukung Papa. Mama kamu bilang kalau Papa pasti berhasil."
Kai menatap ayahnya. Wajah pria itu terlihat sedih, tapi ada seulas senyum di bibirnya. Ayahnya seperti menerawang jauh. Ayahnya menceritakan lebih banyak daripada yang ia minta. Hatinya terasa hangat. Ia bisa membayangkan cerita ayahnya. Seperti terproyektor membentuk sebuah film.
"Makasih, Pah." Kai mendekat dan memeluk ayahnya saat pria itu menyelesaikan ceritanya. "Kai sayang banget sama Papa." Kai tak tahu kenapa ia mengatakan itu. Ia lupa kapan terakhir bilang sayang pada orangtua tunggalnya itu. Semenjak makin besar, ia semakin malu mengungkapkan rasa sayangnya.
"Yaudah kamu istirahat, ya. Udah malam." Marco sudah menurunkan kedua kakinya saat Kai bertanya,
"Papa tadi mau ngomong apa?"
Marco duduk di kursi dan menatap anak semata wayangnya. Ia berdehem, "Kai ingat Tante Kinan yang waktu itu ketemu di mall, kan?" Ia melihat gadis itu mengangguk pelan. "Tante Kinan tanya Papa, kira-kira kamu mau nggak jadi model untuk produk barunya."
Kai menelan ludah. Ia menatap raut wajah ayahnya penuh harap.
"Kai selfie aja nggak percaya diri, Pa. Apalagi jadi model gitu." Kai menarik selimut hingga ke pinggangnya.
Marco mengangguk, "yaudah. Tante Kinan cuma nanya aja kok. Barangkali kamu minat." Marco mengusap pucuk kepala anaknya dan berdiri. Ia sudah hampir mencapai pintu saat Kai memanggil.
"Tapi kalau Tante Kinan percaya, Kai bisa coba." katanya akhirnya. Garis bibir Marco terangkat membentuk senyum. Pria itu mengangguk pelan.
***
Kai menatap undangan di tangannya, lalu ke arah Fattah yang menunduk di depannya. Ini adalah patah hati pertamanya. Ia sedih, tapi tak sampai menangis. Sejak awal ia tidak mengharapkan pria itu. Ia cukup tahu diri. Ia hanya menyesali tingkah bodohnya berusaha menarik perhatian pria itu yang ternyata sudah punya calon istri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words [TAMAT]
HumorKai, gadis tomboy dan cuek yang tiba-tiba jatuh cinta. Hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perlahan, gadis itu mulai mengubah penampilannya. Ia menjadi lebih rapi dan berusaha terlihat seperti seorang gadis pada umumnya. Ia pergi ke kedai k...