CHAPTER EMPAT PULUH SATU

650 116 17
                                    

Fattah menatap jam di pergelangan tangannya. Sudah jam setengah sepuluh malam. Ia bergerak gelisah di kursinya, sementara Andreas fokus pada kemudi dan jalanan. Ia baru saja selesai syuting dan tengah memikirkan apa bisa ia bertemu dengan Kai sekarang.

Meski tahu Kai tidak suka diganggu di jam-jam segini, toh ia memilih untuk mencoba. Ia mengirim pesan pada gadis itu. Bertanya apakan dia sudah tidur atau belum dan bertanya apa mereka bisa bertemu sebentar.

Tidak lama pesan balasan masuk.

Kai: Belum. Tapi aku udah malas turun dari kasur. Ketemu besok-besok aja.

Fattah menghela napas. Ia tahu ini yang akan terjadi. Tidak seperti dirinya yang tidak bertemu sehari saja langsung merasa urung-uringan, Kai hanya memedulikan hidupnya. Kai hanya tahu bahwa tidak ada yang bisa menganggu gugat kebiasaannya.

Belakangan, Fattah selalu memberi kabar gadis itu dengan intens, tidak peduli Kai membalas tiga atau empat jam kemudian, atau bahkan keesokan harinya.

Fattah: Besok kamu jadi ke Singapore kan?

Kai: Jadi. Ketemu setelah aku balik aja.

Fattah: Kapan?

Kai: Senin.

Fattah menyandarkan punggung dengan kasar sambil mendesah, membuat Andreas langsung menoleh ke arahnya.

"Kenapa lo? Kangen lagi? Ampun deh." Selama bekerja untuk Fattah, Andreas tidak pernah melihat laki-laki itu sepusing ini masalah perempuan. Fattah selalu punya goals dalam hidupnya. Suka bekerja dan profesional. Tapi semenjak bertemu Kai, laki-laki itu lebih cerewet dari biasanya. Selalu bertanya apa ia punya waktu luang? Apa ia bisa pulang lebih cepat? Apa bisa mengosongkan jadwal di hari-hari lain? Sosok Kai sepertinya benar-benar mengguncang hidup laki-laki itu.

Di waktu yang sama tapi di tempat yang berbeda, Kai ada di atas ranjangnya. Kepalanya ada di atas pangkuan ibunya. Kai tidak pernah merasakan memiliki ibu selama dua puluh tahun, tak heran semenjak ayahnya menikah lagi, ia menjadi sangat manja pada ibu tirinya. Ia tidak peduli jika Raihan selalu mengejeknya karena terlalu manja. Kai selalu ingin mengulang banyak waktu yang tak pernah ia lewati bersama seorang ibu.

"Jadi, kamu pacaran sama Fattah?" Kinan bertanya saat Kai memberitahu siapa yang mengiriminya pesan barusan.

"Gimana, ya. Ya gitu deh." Kai tidak bisa mendeskripsikan hubungannya. Mereka tidak pernah mengikat dalam satu hubungan, tapi keduanya tahu bagaimana perasaan masing-masing.

"Fattah sih udah ngajakin nikah, tapi akunya belum yakin." Kai mengatakan itu saat ibunya bertanya seserius apa hubungannya dengan laki-laki itu.

"Kenapa?" Kinan mengusap pelan kepala anaknya.

"Aku percaya sih, Fattah bakal ngertiin aku. Aku yang nggak yakin apa aku bisa ngertiin dia." jelas Kai, "aku ngerasa agak susah nerima dia sebagai artis yang hidupnya nggak jauh-jauh dari sorotan kamera. Jam kerja dia juga nggak nentu. Iya sih kalau lagi nggak ada tawaran, dia punya banyak waktu luang. Tapi kalau lagi syuting, bisa berangkat pagi pulang tengah malam. Belum kalau syutingnya di luar kota." Kai mendesah, "aku pengin kayak Mama sama Papa. Makan malam bareng, banyak ngobrol, jalan setiap weekend." Kai menatap ibunya, "aku takutnya aku nggak ngedapetin rumah tangga seperti yang aku pengin kalau sama dia."

Kai memberi jeda cukup lama, "aku sadar kalau aku cinta. Tapi menikah itu nggak cuma soal cinta kan?" Kai melihat ibunya mengangguk pelan.

"Menikah itu kerjasama dua orang. Nggak bisa hanya satu orang yang berjuang dan berusaha. Fattah siap karena dia tahu dia akan bisa nerima kamu. Tapi kalau memang sekiranya kamu belum bisa nerima Fattah dan dunianya, memang lebih baik nggak mikir nikah dulu." ujar Kinan.

Three Little Words [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang