CHAPTER DUA PULUH SATU

768 121 7
                                    

 Marco memarkirkan mobilnya di sebuah bakehouse. Ia turun lalu menatap bangunan di depannya. Setelah menghela napas panjang, ia mendekati pintu yang setengah terbuka dan disambut oleh seorang gadis.

"Ivi-nya ada?" Ia bertanya saat gadis itu bertanya keperluannya. Gadis itu memintanya menunggu sementara ia masuk ke dalam untuk memanggil si pemilik bakehouse.

Marco menjatuhkan diri di sofa yang ada di sana. Tempat itu terlihat sepi, tapi ia tahu kalau di dalam sana, orang-orang sedang sibuk menyiapkan pesanan. Aroma harum menguar memenuhi ruangan.

"Marco?"

Marco menengadah. Wanita itu melepaskan apron yang dikenakannya dan menyampirkannya di gantungan lalu mendekat.

"Hai... sibuk, ya?" Ia bertanya saat wanita itu mengambil tempat di depannya.

"Biasa lah. Ada apa?" Ivi menatap pria di depannya.

Marco menjilat bibir bawahnya lalu berkata, "Kai di rumah sakit, Vi. Dia pengin ketemu kamu."

"Sakit apa?" Ivi terlihat sedikit panik.

"Lambung." jawab Marco.

"Yaudah, nanti sore aku ke sana sama Ibam. Di rumah sakit mana?"

Marco menelan ludah, "Kai udah tahu semuanya, Vi..." katanya dengan nada lirih. Ia mengindahkan pertanyaan wanita itu.

Ivi menatap pria di depannya dengan tatapan bingung.

"Kai udah tahu kalau dia bukan anak aku." kata Marco akhirnya. Ia melihat kedua mata wanita itu melebar. "kalau aku dulu pacaran sama kamu."

"Marco, kamu gila ya?" Suara Ivi sedikit meninggi. Ia menatap tajam, "kamu jaga rahasia kayak gitu aja nggak bisa. Gimana sih?"

"Edo yang bilang. Kai nggak sengaja dengar pembicaraan kami." jelas Marco.

Ivi memijit pelipisnya, "terus Kai gimana sekarang?"

"Hancur. Dia ngingetin aku sama kamu waktu itu. Dikhianatin sama orang terdekat. Kamu mungkin masih ingat sakitnya."

Ivi menarik napas panjang demi mengurai sesak. Ia sama sekali tidak bisa membayangkan Kai akan mengalami ini. Sungguh, harusnya gadis itu tidak pernah tahu.

"Aku nggak bisa ke sana. Aku nggak akan sanggup lihat dia." kata Ivi akhirnya.

"Vi, dia mau ketemu kamu." kata Marco dengan nada memohon.

Ivi mengusap wajahnya. "kamu memang... beneran tidur sama Sofi?" Ivi bertanya.

Marco mengangguk lemah, "aku ingat waktu kita lagi berantem, Sofi nyusul aku ke bar dan nyekokin aku sama alkohol. Dia bilang dia yang bakal bawa mobil kalau aku mabuk." Marco memberi jeda, "dia bawa aku ke rumahnya. Aku ingat dia yang mulai duluan. Dan ya... aku ingat aku berhubungan sama dia, makanya aku berani tanggung jawab."

Ivi terdiam. Ia menatap Marco yang terlihat frustasi, "pagi itu, aku lihat ada obat-obatan di meja belajarnya. Dia bilang dia sakit kemarin-kemarin. Tapi akhirnya aku tahu kalau itu mungkin vitamin kehamilan. Dia udah sempat periksa dan memastikan hamil, baru akhirnya..." Marco tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

"Yaudah nanti aku ke sana. Aku tunggu Ibam pulang dulu."

"Tapi, Vi... kamu beneran nggak tahu kan, Ayah kandung Kai siapa? Kamu mungkin tahu laki-laki yang dekat sama Sofi waktu itu."

Ivi menggeleng pelan, membuat Marco menghela napas lega.

"Sofi nggak pernah cerita apa-apa." katanya. Salah satu penyesalan terbesar Ivi adalah tidak pernah benar-benar tahu kehidupan Sofi. Ia pikir ia adalah sahabat terbaiknya, tapi mana mungkin ia sama sekali tidak tahu siapa laki-laki yang dekat dengan Sofi dan membuatnya hamil.

Three Little Words [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang