"Kai, jerawat lo agak kalem. Pakai apa lo?" Gita bertanya. Ia dan Nada sudah ada di rumah Kai sejak pagi untuk mengerjakan tugas komputer akuntansi. Mereka bertiga berkumpul di ruang tamu dengan tiga buah laptop terbuka di atas meja. Buku-buku berserak di sekelilingnya.
Kai meraba wajahnya sambil tersenyum. Ia juga menyadarinya akhir-akhir ini. Perawatan rutin yang ia gunakan sangat ampuh menenangkan jerawatnya yang membandel. Kulitnya lebih cerah. Jerawatnya mengempes, dan bintik-bintik merahnya memudar. Ini adalah kondisi kulit terbaiknya setelah ia pubertas.
"Gue pakai skincare belakangan ini." kata Kai. "ternyata cocok."
"Gitu kek, dari dulu." kata Nada.
"Karena langsung dapet yang cocok aja, makanya gue lanjut. Kalian kan tahu gue malas coba-coba." Kai melirik kertas lalu menatap layar laptopnya. Ia menatap deretan angka dan mereka sibuk masing-masing untuk beberapa saat.
"Assalamualaikum..." Mereka semua melirik ke arah pintu yang setengah terbuka dan melihat sosok Marco.
Mereka menjawab sapaan dan tersenyum ke arah Marco yang langsung menaruh satu bungkus plastik berisi kue basah di atas meja.
"Kalian udah sarapan belum?" Marco bertanya. Ia baru lari mengelilingi komplek. Bajunya melekat di tubuh karena keringat. Mencetak otot-otot di baliknya.
"Udah, Om." Nada dan Gita menjawab nyaris bersamaan.
Gita menarik napas panjang saat Marco pergi dari ruang tamu, "kenapa bokap lo bisa ganteng gitu sih, Kai?"
Kai melempar bantal ke arah Gita dan tepat mengenai wajahnya. "beneran deh Kai, kalau bokap lo mau gue, gue juga mau sama dia."
"Amit-amit. Gue yang nggak mau punya ibu tiri kayak lo." Kai mendengus.
"Bokap lo nggak punya beban kali ya. Kelihatannya malah makin muda. Heran." kata Nada dengan kagum.
"Emang nggak heran kalau bokap lo terkenal banget di fakultas." kata Gita.
Benar kata Gita, dibanding Kai yang mahasiswi, Marco lebih terkenal di fakultas ekonomi. Siapa yang tak kenal Marco, pria yang selalu keluar dari mobil demi melihat punggung anaknya menjauh hingga tak terlihat. Tubuh tinggi tegapnya, rupanya. Orang yang baru melihat nggak akan nyangka kalau umurnya hampir empat puluh tahun dan yang diantarnya setiap hari itu anaknya.
Saking ramahnya, pria itu tidak segan membalas senyum mahasiswi yang menyapanya. Padahal mereka nggak kenal.
Kai mengambil kantong plastik dan mengeluarkan isinya. Ia mengambil satu. Nada dan Gita mengikutinya.
"Kai, lo yakin nggak mau gue jadi ibu tiri lo?" Pertanyaan Gita membuat Kai tersedak. Ia menepuk-nepuk dadanya dan menyambar gelas di atas meja. Menyesapnya banyak-banyak.
"Gila. Emang lo mau sama laki-laki yang lebih pantas jadi bokap lo." Kai tidak habis pikir.
"Mau kalau sama bokap lo mah." Gita tertawa.
"Sinting."
"Mending mana Kai, Tante Kinan atau Gita?" Nada bertanya sambil tertawa.
Kai mendengus. Ia menguyah dengan kasar. Matanya melihat kedua sahabatnya yang masih tertawa geli. Kai bergidik ngeri membayang Gita, ataupun gadis seumur dirinya menjadi pendamping ayahnya. Pasti rasanya akan sangat aneh punya ibu tiri yang seumuran atau umurnya tidak terpaut jauh dengannya. Ia tahu ada banyak yang seperti itu diluar sana, tapi sungguh ia tidak ingin.
Suara dering ponsel membuat ketiganya menatap ke gawai Kai yang menyala di atas meja. Melihat nama Fattah, Kai langsung menyambarnya cepat-cepat dan menslide layar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words [TAMAT]
Hài hướcKai, gadis tomboy dan cuek yang tiba-tiba jatuh cinta. Hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perlahan, gadis itu mulai mengubah penampilannya. Ia menjadi lebih rapi dan berusaha terlihat seperti seorang gadis pada umumnya. Ia pergi ke kedai k...