CHAPTER SEMBILAN BELAS

694 120 8
                                    

 Marco menatap Kai yang masih mencoba meredakan tangisnya. Ia menjilat bibir bawahnya. Sama sekali tidak menyangka akan menghadapi situasi ini. Ia telah bersumpah akan menjaga rahasia itu sampai mati. Namun keteledoran adiknya membuat semuanya runyam.

"Kai, kamu istirahat dulu, ya. Kita bisa ngobrolin ini lain kali." kata Marco setelah berpikir. Ia mengusap sebelah tangan anaknya.

Kai menengadah. Menggeleng keras sambil mengusap pipinya dengan kasar, "Kai mau tahu ceritanya. Semuanya. Dari awal Papa kenal sama Mama." katanya.

Marco menelan ludah dengan susah payah. Ia menatap anak semata wayangnya yang tengah menatapnya penuh harap. Ia tahu apa yang keluar dari mulutnya hanya akan menyakiti hati gadis itu. Ia tidak pernah ingin menyakitinya.

"Pah... Kai berhak tahu." lirih gadis itu.

Air mata sudah menggenang di kedua mata Marco. Ia terdiam cukup lama. Berpikir, dan memilah kalimat yang akan keluar dari mulutnya.

"Papa kenal Mama kamu karena dia sahabat Tante Ivi." Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya. Ia terdiam lagi saat merasakan sesak menyelimutinya. "Papa dulu pacaran sama Tante Ivi." Marco melihat mata anaknya membulat tak percaya. Gadis itu menutup mulut dengan tangannya. Mati-matian menahan tangis lagi.

"Papa waktu itu untuk udah sempat tunangan sama Tante Ivi, karena memang udah niat serius. Setelah selesai kuliah, kita udah rencana mau nikah." Kotak memorinya terbuka. Ingatan-ingatan itu muncul kembali ke permukaan.

"Tapi Papa sama Mama kamu buat kesalahan di satu waktu."

Bibir Kai bergetar lagi. Dadanya berdetak tak beraturan dan terasa ingin meledak di tempatnya. Dilihatnya ayahnya yang masih berusaha mengeluarkan kalimat demi kalimat, yang rasanya seperti peluru yang menyakitinya.

"Papa putus sama Tante Ivi dan akhirnya bertanggung jawab saat Mama kamu bilang hamil."

"Kamu lahir prematur karena ada komplikasi. Sebelum masuk ruang operasi, Mama kamu jujur kalau dia sebenarnya hamil anak orang lain." Marco mengusap wajahnya kasar. "Mama sengaja jebak Papa untuk tidur supaya ada yang bertanggung jawab atas kamu."

Tangis Kai pecah lagi. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Marco memeluk gadis itu.

"Kai... kamu harus tahu kalau Papa nggak pernah nyesal punya kamu. Kamu berharga buat Papa. Kamu anak Papa." kata Marco.

Kai meraung. Ia mendorong tubuh ayahnya dan menangis. Ia mengacak-acak rambutnya. Sama sekali tidak menerima kenyataan di depan matanya. Otaknya terasa penuh. Semua terlalu sulit diserap di otaknya. Ibunya menjebak ayahnya yang saat itu berpacaran dengan sahabatnya. Dari sekian banyak orang, kenapa harus ayahnya? Kenapa ibunya tega menghancurkan hubungan sahabatnya sendiri.

Bagaimana bisa ayahnya mengurusnya yang bukan siapa-siapa. Bahkan bertahun-tahun menyingkirkan kebahagiaannya sendiri.

Bagaimana bisa ia terlahir dengan kondisi seperti ini. Ia adalah kesalahan ibunya, dan selama bertahun-tahun menjadi beban ayahnya. Kenapa ibunya tidak membawanya mati bersamanya.

"Papa udah pernah cek DNA?" Kai bertanya dengan nada terbata.

Marco mengangguk. Kai tahu jawabannya meski ayahnya tidak menjawabnya secara gamblang. Ia merasakan ada banyak batu yang menghantamnya di sana-sini. Membuat luka di sekujur tubuhnya.

"Kai..." Marco menarik tangan Kai yang sibuk menjambak rambutnya sendiri. Air matanya jatuh. "jangan pikirin kesalahan Mama kamu. Jangan pikirin hidup Papa. Cukup pikir kalau kamu hadiah yang Tuhan kasih buat Papa."

Kai menggeleng. Ia berdiri, masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan debaman keras.

Kai menatap foto ibunya yang berderet di mejanya. Suara ketukan yang bersahutan dengan suara ayahnya terdengar. Ia mengayunkan lengannya ke sepanjang meja hingga foto-foto itu jatuh dengan kasar. Suara bingkai kaca membentur lantai terdengar nyaring.

Three Little Words [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang