CHAPTER EMPAT PULUH EMPAT

640 115 8
                                    

Kai baru makan siang menjelang jam dua karena pergi ke bank dan baru kembali. Ia membuka makan siangnya yang sudah dingin dan memindahkannya ke dalam mangkuk. Sambil membuka pesan yang masuk ke dalam ponsel, ia menyuap dan mengunyah. Ruangan itu tenang. Yang terdengar hanya suara papan ketik yang ditekan cepat. Tiga rekan kerjanya yang lain sibuk dengan dokumen-dokumen keuangan di atas meja.

"Baru makan lo?" Jani masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursi kosong di depan meja Kai. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban tercepat. "ini pertanggung jawaban advancenya tanggal lima belas kemarin ya. Udah lengkap semua." Jani menaruh dokumen yang ia bawa di atas meja.

Kai mengangguk lagi selagi mengunyah.

"Nanti ikut running, kan?" Jani bertanya.

"Belum tahu." Kai menjawab ragu.

Jani masih ada di sana dan kini mengutak-atik ponselnya. "Kai, gue sama anak-anak mau beli sepatu running. Biar samaan." Ia menunjukkan layar ponselnya. Beberapa pilihan sepatu running yang bisa menjadi pilihan.

"Sepatu-sepatu gue masih bagus." Meski tidak kekurangan uang, Kai tidak pernah impulsif buying. Ia selalu membeli sesuatu yang ia butuhkan.

"Biar kompakan sama anak-anak." bujuk Jani.

"Kayak anak SD aja." Kai menjawab tanpa minat.

"Seru-seruan aja."

"Kompakan sepatu nggak bikin lari kita makin cepat."

"Ya makanya gue bilang buat seru-seruan aja." Jani menatap jengkel sementara Kai tersenyum geli.

"Nggak ah."

Jani sebenarnya sudah bisa mempredisksi jawaban temannya.

Suara dering ponsel menghentikan pembicaraan mereka. Kai melirik gawai di sebelahnya dan menatap nama Fattah di layar. Setelah menslide layar, ia mendekatkan gawai ke sebelah telinganya.

"Iya... Udah... Baru selesai... Belum tahu juga sih... Yaudah." Kai menutup penggilan. Beberapa hari ke belakang, Kai selalu mengusahakan mengangkat panggilan dari Fattah. Mereka biasanya tidak mengobrol lama. Sekadar bertanya sudah makan atau belum, basa-basi lainnya atau sekadar mendengar ungkapan rindu laki-laki itu.

"Jadi nggak mau nih?" Jani bertanya sekali lagi meski tahu Kai tidak akan mengubah jawabannya.

"Nggak, ah." Kai berdiri dan membawa piring kosongnya keluar dari ruangan. Jani mengekorinya hingga ke pantry dengan tatapan terarah sepenuhnya ke ponsel di tangannya.

"Kai, udah dengar belum kalau novelnya Mas Tegus bakal diangkat jadi film?" Jani duduk di meja yang ada di pantry sementara Kai mengisi botolnya dengan air dari dispenser.

"Oh, ya?" Kai duduk di sebelah Jani dan melihat gadis itu tengah melihat foto-foto Fattah di instagram.

"Kemungkinan besar pemeran utamanya Fattah sama Amara."

Kai membulatkan mulutnya. Ia melihat Jani begitu fokus pada layar.

"Fattah tuh ganteng banget, ya." Jani tidak bisa menyembunyikan tatapan memujanya. "udah gitu peran sama siapa pun cocok." tambahnya.

Kai menyesap air dalam botolnya dan mendekati Jani. Ia ikut menatap ponsel gadis itu.

"Eh, Fattah ini teman kuliah lo kan?" Jani menoleh ke arah Kai. Ia ingat bahwa Gio pernah mengatakan itu saat foto-foto Kai dan Fattah bergandengan tangan di lobi kantor tersebar di dunia maya.

Kai mengangguk sebagai jawaban tercepat.

"Lo kenal dekat?"

Kai menggeleng. Nggak dekat, tapi dekat banget.

Three Little Words [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang