CHAPTER LIMA BELAS

602 114 3
                                    

Kai berpikir semalaman. Mengurai lagi hubungan dengan ayahnya akhir-akhir ini. Ia ingat selalu menolak ajakan ayahnya untuk pergi bersama-sama. Ia yang sudah merasa besar, jelas lebih suka pergi dengan Gita dan Nada. Ia jadi berpikir, apa karena itu ayahnya merasa kesepian dan memilih dekat dengan perempuan. Kai ingat bahwa sudah lama sekali tidak melihat ayahnya dekat dengan perempuan. Setelah ia melarang ayahnya menikah, sepertinya tidak pernah lagi.

Ia berniat memperbaiki semuanya. Ia ingin hubungannya dengan ayahnya seperti dulu. Hingga akhirnya ayahnya tidak lagi kesepian dan tidak perlu dekat dengan perempuan manapun.

Kai dan Marco menyeberangi lobi mall yang besar. Jika biasanya Kai akan berusaha berjalan selangkah di depan, kali ini ia menggamit lengan ayahnya. Tidak peduli jika akhirnya ia menjadi pusat perhatian. Ia harus menjaga ayahnya dari tatapan-tatapan orang. Ia perlu membungkam orang-orang yang ingin tersenyum ramah pada ayahnya.

Kai tahu mereka sebenarnya bukan ancaman. Tapi ia mulai tidak suka kalau ada yang sok ramah sama ayahnya.

Mereka menaiki eskalator dan masuk ke sebuah toko gadget. Dua orang wanita berseragam yang berdiri di depan toko menyapa keduanya dengan ramah.

Kai mengurai lengannya dan berpisah dengan ayahnya. Ia pergi mendekati deretan laptop yang terpajang. Ia kembali menoleh dan melihat ayahnya diikuti oleh pegawai yang tadi menyapa mereka. Lihat, tidak ada satupun sales yang mengikutinya dan berusaha bertanya apa yang ia perlukan. Dua-duanya lebih memilih mengekori ayahnya dan kini tengah tersenyum ramah sambil menjelaskan beberapa produk.

Kai menghela napas kasar. Ia melangkah lebar-lebar, mendekati ayahnya dan menarik lengannya keluar dari toko itu.

"Lho... kenapa, Kai?" Marco mencoba mensejajarkan langkahnya dengan langkah anaknya. Ia kebingungan.

"Kita ke toko buku aja." kata Kai.

"Kamu katanya mau ganti laptop?"

"Kai sekarang lebih butuh buku akuntansi." kata Kai dengan nada kesal.

Marco menurut. Ia merangkul bahu anaknya dan berjalan menuju toko buku.

"Jangan jauh-jauh dari Kai." Gadis itu memperingatkan saat mereka masuk ke dalam toko buku yang besar itu. Marco mengekori anaknya menuju rak-rak buku keuangan, lalu ke tempat atk dan berkeliling. Pria itu mengikuti tanpa protes.

"Kai... kamu suka kesepian nggak, sih?" Marco bertanya pada anaknya saat mereka baru saja duduk di salah satu meja di restoran ramen. Kai mendelik, ia menatap ayahnya yang menatapnya serius.

"Nggak. Biasa. Kenapa harus kesepian?"

Pelayan yang datang dengan buku menu menginterupsi pembicaraan mereka. Kai memilih makanan dan minuman, lalu melirik ayahnya yang masih berpikir. Entah kenapa perasaannya mendadak tak enak. Ia berharap mereka menutup pembicaraan sebelumnya.

"Ya... kamu anak tunggal. Nggak punya saudara." Marco melanjutkan pembicaraan saat pelayan pergi dari meja mereka.

"Malah enak kan jadi anak tunggal, nggak ada saingan." jawab Kai cuek.

"Saudara bukan saingan, Kai." Marco memberi pengertian.

"Terserah. Tapi Kai nggak pernah ngerasa kesepian."

Minuman disajikan di atas meja. Marco melihat anaknya yang kini mengaduk-aduk gelas dengan sedotan. Ia tahu akan sangat sulit melakukan pendekatan dengan anaknya. Gadis itu terbiasa didengarkan dan dituruti semua kemauannya. Ia tidak melanjutkan pembicaraan karena melihat bahwa anaknya tidak suka topik itu. Ia tidak ingin merusak mood anaknya.

Marco tahu apa yang ingin ia lakukan. Ia ingin meminta izin untuk menjalin hubungan serius dengan perempuan. Ia menyukai seseorang, meski belum menyatakan perasaannya. Ia ingin memastikan bahwa Kai akan mengijinkan. Ia tidak ingin kejadian bertahun-tahun lalu terulang lagi. Ia menjalin hubungan, siap menikah, namun Kai tidak mengijinkannya. Ia tidak ingin mengulang kejadian pahit itu lagi sehingga memastikan mendapat izin anaknya terlebih dulu.

Three Little Words [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang