CHAPTER EMPAT PULUH SEMBILAN

1K 133 7
                                    

 "Nikah diam-diam tuh gimana maksudnya?" Andreas bertanya dengan nada bingung. Freya yang duduk di sebelah Fattah tak kalah bingung.

"Gue mau nggak ada satupun media yang tahu." jawabnya. Ia mengambil cangkir di atas meja dan menyesap setelah meniupnya pelan.

Andreas dan Freya saling pandang.

"Gue juga cuma akan undang teman-teman terdekat gue dan mastiin mereka keep quiet." Fattah mengambil roti panggang di atas meja dan menggigitnya.

"Memang bisa ya, kayak gitu?" Andreas tampak tak yakin.

"Bisa sih. Yang penting lo harus make sure semua orang yang terlibat di pernikahan lo nggak akan ngomong ke mana-mana." Freya berbicara.

Fattah mengangguk lalu berkata, "lo ingat nggak, pernah ada penyanyi yang pernikahannya ketahuan setelah satu tahun. Itu juga karena dia kena kasus penyalahgunaan obat."

Andreas mengingat-ingat dan akhirnya tahu siapa yang dimaksud laki-laki itu.

"Tapi bukannya percuma, ya. Kan suatu saat pasti akan ketahuan juga. Ujung-ujungnya netizen pasti akan komentar juga."

"Itu urusan belakangan. Pokoknya gue mau pernikahan gue nggak diberitakan di media manapun."

Andreas mengangguk meski tak sepenuhnya paham.

"Kai udah benar-benar bisa nerima lo?" Freya bertanya.

"Gue yang udah benar-benar nerima dia." Fattah mengunyah. Ia tersenyum, tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. Ia sepertinya tidak peduli jika seumur hidup harus terus mengalah pada gadis itu.

Freya mengangguk. Ia ikut mengambil roti di atas meja.

"Udah ada bayangan kira-kira kapan? Gue harus atur jadwal lo kalau lo mau honeymoon." kata Andreas.

"Belum lah. Gampang itu mah. Kai orangnya nyantai kok."

"Kapan lo mau ketemu keluarganya?" Kali ini Freya yang bertanya.

"Nanti gue kabarin kalau gue udah ngobrol sama Om Marco dan Tante Kinan."

"Itu tunangan dulu atau gimana?" Andreas bertanya.

"Langsung lamaran aja lah. Ribet pakai tunangan segala. Lama." ujar Fattah.

"Adik lo ngebet banget, Frey." kata Andreas. Ia melirik Freya yang terkekeh pelan.

***

"Kai, makan di mana?" Kai menengadah saat mendengar suara itu. Ia melihat wajah Jani menyembul dari balik pintu.

"Di kantor aja kali, ya. Males banget keluar."

Jani berdecak sambil mendekat. "Nggak bosen apa lo di ruangan mulu. Ayo keluar, ah. Nggak panas kok."

Kai menatap Jani yang berdiri di depannya. Ia berpikir sebentar hingga akhirnya setuju, "yaudah deh."

Setelah menyimpan pekerjaannya dan merapikan dokumen di atas mejanya, ia mengekori Jani keluar dari ruangannya. Di depan lift, Gio bergabung dan ikut turun ke lantai dasar.

"Kai, akhir bulan gue sama teman-teman gue mau panjat tebing di Pantai Siung, Yogja. Mau ikut nggak?" kata Gio saat mereka sudah menempati salah satu meja di kedai seafood tak jauh dari kantor.

"Yogya? Kebetulan akhir bulan gue juga ada rencana mau ke sana. Gue ikut deh." kata Kai penuh minat.

"Ngapain lo ke Yogya?" Jani bertaya lalu menyesap es teh manis melalui sedotan.

"Jalan-jalan aja."

"Sama siapa?"

"Sendiri."

"Ih, enak banget sih jadi lo." kata Jani, "hidup kayak nggak punya beban."

Three Little Words [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang