Jam menunjukkan pukul enam pagi saat dua orang di lapangan komplek itu tengah sibuk memperebutkan bola oranye untuk dimasukkan ke dalam ring guna mencetak poin. Gadis dengan kaos dan celana pendek juga rambut terikat tinggi-tinggi itu tampak lincah bergerak. Lawannya, pria yang berumur hampir empat puluh tahun tak kalah gesit.
Saat kesekian kali pria itu memasukkan bola itu dalam ring, si gadis berjongkok lalu menjatuhkan tubuhnya di tengah lapangan. Ia mengatur napasnya yang terengah-engah. Peluh sudah membanjiri wajah dan membasahi kaos hitamnya.
Marco mengambil paper bag di tepi lapangan dan mengambil handuk lalu melemparkannya pada Kai yang langsung menangkapnya. Ia mendekat saat gadis itu sibuk menyeka keringat di wajahnya.
"Baru segitu aja udah capek? Kurang olahraga, tuh, kamu." Marco duduk di samping anak semata wayangnya sambil menyerahkan satu botol berisi air mineral pada gadis itu.
"Kai lagi banyak tugas, Pa." kata gadis itu lalu meneguk isi botol. Ia membiarkan air itu membasahi tenggorokkannya yang terasa kering.
Gadis itu menoleh lalu menatap ayahnya yang sedang duduk di sebelahnya. Pria itu sedang menyesap minumannya. Ia bisa melihat wajah dan tubuh pria itu juga banjir keringat. Rambut ayahnya juga terlihat lepek dan acak-acakan. Ada satu butir keringat diujung hidung mancungnya.
Dengan umur yang hampir menginjak empat puluh tahun, ayahnya memang tetap bugar. Umur empat puluh memang belum tua bagi laki- laki, tapi ayahnya terlihat jauh lebih muda dari usianya. Ayahnya pernah bilang bahwa ada orang yang memperkirakan umurnya baru memasuki tiga puluh tahun. Dan yang lebih parah, saat pertama kali ayahnya mengantarnya ke kampus, teman-temannya mengira bahwa ayahnya adalah kakak tingkat di kampus itu. Saat itu Kai tahu bahwa akan jauh lebih baik jika teman-temannya tak mengenal ayahnya.
Ayahnya memang punya wajah yang bisa dibilang tampan. Pria itu berkulit sawo matang dengan rahang tegas dan hidung mancung. Tatapan dan senyumnya selalu terlihat ramah, juga bentuk tubuh yang diidamkan banyak pria karena rajinnya pria itu berolahraga.
Tak sekali dua kali Kai mendengar teman-temannya memuji ayahnya secara terang-terangan. Kalau sudah seperti itu, Kai akan tersenyum lalu meminta ayahnya untuk pergi secepatnya sebelum membuat teman-temannya kehilangan akal sehat. Setelah itu Kai akan mendengar teman-teman membicarakan begitu tampan ayahnya dan betapa beruntungnya Kai memilikinya.
Saat mereka jalan berdua, mereka terlihat seperti kakak adik dibanding ayah dan anak. Kai kadang sebal karena ayahnya kerap menjadi pusat perhatian di manapun ia berada. Ia sudah sering menyuruh ayahnya untuk tak terlalu mudah tersenyum, pun pada orang-orang yang baru dikenalnya. Jika pria itu menjadi pusat perhatian, orang-orang juga akan fokus pada dirinya.
Pasalnya, ia tak mewarisi kerupawanan ayahnya. Ia berkulit kuning langsat dengan bintik- bintik memerah bekas jerawat di bagian pipinya, yang selalu datang dan pergi, lalu datang lagi. Wajahnya kusam dengan tubuh kurus seperti kekurangan gizi. Tak peduli sebanyak apapun ia makan, berat badannya sulit sekali naik. Jika ayahnya adalah pria trendi dengan style yang selalu up to date, ia sama sekali tidak. Ia adalah gadis kuno cuek yang sama sekali tak peduli dengan tren yang sedang hits saat ini.
Ayahnya sudah sering menawarkannya untuk pergi ke klinik kecantikan juga ahli gizi, namun ia tak mau. Ayahnya juga cukup sering memberikan gaun-gaun santai juga rok dan makeup yang sedang hits dikalangan anak muda, tapi ia tak mau menggunakannya. Semuanya selalu tersimpan di lemarinya.
Secara garis besar, ia dan ayahnya seperti orang yang tak memiliki hubungan darah. Satu-satunya yang memungkinkan orang percaya bahwa ia anaknya adalah tinggi badannya. Ia cukup tinggi, sama seperti ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words [TAMAT]
UmorismoKai, gadis tomboy dan cuek yang tiba-tiba jatuh cinta. Hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perlahan, gadis itu mulai mengubah penampilannya. Ia menjadi lebih rapi dan berusaha terlihat seperti seorang gadis pada umumnya. Ia pergi ke kedai k...