MATA IRIS masih setengah terpejam saat dia dan rombongan keluarganya sampai di stasiun kereta. Dinda menyusul dengan mobil lain bersama Tante Lia, lantas buru-buru menempel pada Iris seperti perangko. Ibu juga sibuk mengeluarkan barang-barang milik Iris, mulai mengabsen apakah ada yang tertinggal.
"Udah nggak ada yang ketinggalan lagi kan? Kayanya udah sih," Ibu bergumam sendiri, menjawab sendiri.
"Ris, berangkatnya diundur aja bisa nggak sih?"
"Duh, anak ini," Tante Lia memukul pelan kepala anaknya gemas. "Udah sampe sini masa suruh balik lagi,"
"Yah, habisnya.." Dinda semakin menempelkan dirinya pada Iris. "Kalau nanti Gue kesepian gimana?"
"Nanti Gue sering video call kok, tenang aja ya," Iris mencoba menghibur.
"Tapi, kalo disana Lo nggak punya temen gimana Ris? Lo kan cupu, nggak gaul, temen Lo aja cuma Gue satu-satunya. Emang Lo bisa bertahan disana tanpa Gue?"
Kampret. Iris memberengut kesal. Meski begitu ia tak marah. Sahabatnya memang selalu blak-blakan kalo bicara.
"Nanti kalo sampe sana langsung telepon Ibu ya, biar dijemput sama Tante Sarah. Pokoknya hati-hati, jangan bikin masalah terus,"
Iris hanya bisa mengangguk pasrah. Ibunya benar-benar sudah menganggapnya biang masalah, gara-gara apa yang terjadi belakangan ini. Tapi ya sudahlah, mau bagaimanapun juga semuanya salah dia sendiri.
"Tuh, keretanya udah dateng,"
Iris menghela napas dalam-dalam, mencoba menata hatinya yang terasa berat. Sebelum masuk, ia sempatkan diri memeluk orangtuanya, Aidin, Tante Lia, dan Dinda yang meraung-raung seperti orang kesurupan.
"Duh, malu tau diliatin orang-orang Din," Tante Lia menenangkan putrinya.
Iris melangkah perlahan. Sembari melangkah, gadis itu mencoba mengedarkan pandangan pada sekelilingnya, berharap orang yang sangat ia tunggu akan datang.
Tapi, bahkan sampai kereta berjalan meninggalkan jakarta, orang itu tidak juga muncul.
***
Bryan masih merebahkan badannya dengan santai saat pintu kamar terbuka tiba-tiba, menampakkan sosok Reksa yang sudah beberapa minggu tidak ia lihat.
Terperanjat, Bryan membelalakkan mata, lantas sudah bersiap bersumpah serapah. Tapi Reksa lebih dulu menyambar tangannya yang tidak digips,
"Buruan, masih ada waktu buat liat dia pergi,"
"Lo apa-apaan sih?" Bryan menghempaskan pegangan tangan Reksa. "Siapa yang pergi?"
Reksa menghela napas. Menyadari kebodohannya karena tidak menjelaskan terlebih dulu pokok masalahnya dan malah main sambar tangan orang lain.
"Iris. Dia bakal pindah ke Jogja. Hari ini dia berangkat. Kita harus cepet kalo nggak mau ketinggalan kereta,"
Bryan tampak terkesiap beberapa saat. Perkataan Reksa barusan cukup mengejutkan dirinya. Tapi tidak seberapa lama, cowok itu kembali memasang raut datar, seolah tidak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Liar (END)
Teen FictionBryan Lesmana. Cowok paling famous satu sekolah yang kesal bukan main setelah mendengar Papanya akan menikah lagi. Ia pun berencana menggagalkan pernikahan itu dengan mengancam Adinda, calon adik tirinya. Iris Soraya. Terpaksa berpura-pura menjadi A...