36. "Maafkan Papa.."

133 6 3
                                    

"NGGAK, IRIS nggak mau pindah ke Jogja Bu!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"NGGAK, IRIS nggak mau pindah ke Jogja Bu!"

"Iris.." Ibu Iris tampak mendekati putrinya penuh perhatian. "Kamu kan sudah liat sendiri keadaan Nenek gimana.. Nenek butuh orang untuk menemaninya di Jogja. Nggak lama-lama kok, cuma sampe Tante Sarah selesai kuliah di Bandung. Setelah itu, kamu bisa kembali lagi ke Jakarta,"

"Tapi Bu, Tante Sarah baru semester 5, masih sekitar dua tahun lagi buat selesai! Lagian kenapa harus aku sih yang pindah? Tante Sarah kan juga bisa pindah! Atau Ibu aja deh yang pindah!"

"Tante Sarah nggak bisa pindah karena terikat beasiswa di sana Ris.. Ibu dan Ayah juga nggak bisa pindah karena pekerjaan kami di Jakarta.. Cuma kamu satu-satunya cara. Kamu memang tega ngeliat Nenek sendirian di sini tanpa ada siapapun yang menemani? Walaupun ada saudara lainnya, tapi masa kamu sebagai cucu kandung  Nenek nggak mau sih?"

Iris terdiam. Perang dalam batinnya berkecamuk. Benar sih, Nenek hanya tinggal sendirian di Jogja. Kakek sudah meninggal setahun yang lalu. Tante Sarah, anak bungsu Nenek, mendapat beasiswa untuk berkuliah di Bandung. Sementara Bude Haryati, kakak Ibu, ada di luar negeri mengikuti suaminya. Lalu Ibu, juga ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan di Jakarta. Tapi ini nggak adil kan? Kenapa semuanya tiba-tiba memutuskan tanpa meminta persetujuan Iris dulu?

Jujur, Iris bukannya tidak suka tinggal di Jogja bersama Nenek. Dulu bahkan sebelum pindah ke Jakarta, Iris paling suka tidur bersama Nenek. Tapi untuk sekarang, hatinya merasa berat untuk meninggalkan Jakarta. Kalau dia benar-benar pindah ke Jogja, berarti tidak akan ada kesempatan untuk bertemu lagi dengan Bryan kan?

***
Ruangan putih itu tampak sepi lengang. Bryan sudah tinggal sendirian di atas ranjangnya. Reksa dan Dinda pergi dari ruangan sepuluh menit yang lalu.

Kepala Bryan berdenyut. Dia merasa stres, kesal dan marah bersamaan. Dia marah pada Reksa, yang menutupi fakta siapa Dinda yang sebenarnya. Dia juga marah pada Dinda, si calon adik tirinya yang bisa-bisanya menipu dia selama ini. Apalagi dengan si 'Dinda' palsu, Bryan lebih marah lagi. Kalau diberi kesempatan bertemu dengannya lagi setelah ini, sepertinya dia akan marah besar.

"Brengsek," umpatnya kesal. Mengingat kebersamaannya dengan 'Dinda' membuatnya bertanya-tanya. Apa semua perhatian yang ditujukan padanya selama ini tulus? Atau cuma pura-pura? Bryan bahkan tidak tahu lagi siapa yang bisa dia percaya. Bahkan papanya yang ia kira bakal melindunginya, juga menamparnya.

Apa Gue memang nggak pantas dicintai? Hati Bryan bertanya-tanya. Apa Gue memang sebegitu nggak berharganya sampai semua orang nyakitin Gue?

Dada Bryan terasa sesak. Mama, kalau Mama ada disini, tolong peluk Ian. Ian capek, Ian marah. Kalo bisa, jemput Ian sekalian Ma..

Perlahan, bahu Bryan sedikit terguncang. Selama ini sudah lama ia menahan tangis. Sepertinya hari ini adalah hari yang tepat untuk melakukan itu.

Sweet Liar (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang