Part 32

578 28 0
                                    

Jangan pelit vote dan komen!

Happy Reading!

🌻🌻🌻

Nadia keluar dari bilik toilet guru sesudah menuntaskan hajatnya. Nadia menatap cermin yang terpaku di tembok, menata kembali kerudungnya dan mengusap perutnya yang mulai membuncit tanda anaknya berkembang dengan baik di dalam rahim sang ibu. Usia kandungannya sudah menginjak tiga bulan. Tak berlama-lama, Nadia kembali ke ruang guru karena sebentar lagi bel masuk sesudah istirahat pertama akan berbunyi.

Nadia berpapasan dengan seorang guru perempuan yang merupakan guru Bahasa Indonesia sama seperti dirinya. Dengan sopan Nadia menyapa guru perempuan itu.

"Mau kemana, Bu Ambar?" tanya Nadia.

Bu Ambar menatap Nadia dengan sedikit judes. Guru perempuan yang usianya lebih matang satu tahun dari Nadia itu malah melengos tak peduli. Nadia hanya menggeleng pelan sebelum kembali duduk di kursinya.

"Jangan terlalu dipikirkan, Bu Nadia. Bu Ambar memang seperti itu orangnya," kata Evita, rekan kerja Nadia yang tadi sempat melihat interaksi Nadia dan Ambar.

Nadia mengulas senyum. "Nggak kepikiran kok. Cuma aneh saja, saya nggak ada masalah apapun sama beliau. Kenapa beliau selalu ketus sama saya?"

"Bu Nadia nggak tau?" tanya Evita.

"Tau apa?" balas Nadia bingung.

"Bu Nadia kemana saja selama ini?" kata Evita gemas sendiri. "Bu Ambar itu suka sama Pak Fabian."

"Terus?" tanya Nadia tidak mengerti. Rasa-rasa, Nadia kali ini merutuki otaknya yang lambat menyerap sesuatu.

"Secara nggak langsung Bu Ambar menganggap Bu Nadia sebagai saingan untuk mendapatkan Pak Fabian," jelas Evita.

"Tapi saya nggak saingan sama siapa-siapa. Dan saya juga nggak ada rasa sedikitpun sama Pak Fabian. Saya sudah menikah dan lagi hamil, masak iya saya masih mengejar laki-laki lain," terang Nadia.

"Yang namanya orang sudah buta akan cinta mana sempat berpikir seperti itu, Bu. Apalagi posisinya Bu Ambar itu cinta sendirian sama Pak Fabian. Pak Fabian suka sama Bu Nadia, Bu Nadia nikahnya sama orang lain. Kalau dijabarin bakalan rumit," ujar Evita.

Nadia tersenyum miris. Meskipun bekerja dibidang pendidikan, saingan atau hal semacam orang toxic masih saja didapati.

Nadia tidak menanggapi ucapan Evita lebih lanjut. Bel masuk pun sudah berbunyi. Nadia dan Evita beranjak menuju ke ruang kelas yang akan mereka isi. Kebetulan mereka mengajar di kelas yang berdampingan.

Baru saja menginjakkan kaki di korisor kelas sepuluh, Ambar berjalan mendahului mereka dengan angkuh. Bukannya apa-apa, tapi Ambar berjalan dengan menerobos ditengah-tengah keduanya.

"Bu Ambar hati-hati dong!" seru Evita tidak terima. Guru perempuan itu lebih khawatir pada Nadia. "Bu Nadia nggak kenapa-kenapa?" tanyanya.

Nadia menggeleng. Jantung ibu hamil itu berdetak dua kali lebih cepat karena merasa kaget dan untung saja tidak terjatuh.

"Kalau Bu Nadia jatuh bagaimana? Bu Ambar mau tanggung jawab?" tanya Evita.

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang