Part 16

834 41 0
                                    

Tinggalkan jejak kalian!

Selamat membaca💋

🌻🌻🌻

Nadia meneteskan air matanya saat mendengar cerita dari Fath. Hati Nadia ikut sakit saat Danes mencampakan Luna dalam kondisi hamil. Hatinya semakin sakit saat mengingat Bia tidak pernah bertemu dengan ibunya sama sekali.

"Bia tau semuanya?" tanya Nadia.

Fath mengangguk pelan. "Bia tau. Waktu itu usia Bia baru lima tahun dan Bia disebut-sebut anak haram oleh Tante Cindy," katanya. "Usia Bia memang baru lima tahun, tapi pikirannya sudah bisa dibilang lebih matang dari anak-anak seusianya. Mau nggak mau, aku jelasin sama Bia semuanya dengan dibantu sama Mama dan Papa."

Nadia termenung. Dia tidak bisa membayangkan hancurnya hati Bia saat mengetahui kebenaran waktu itu. Nadia menitikkan air matanya.

"Kamu lihat beberapa obat di kamar Bia tadi?" tanya Fath. Nadia mengangguk kaku sebagai jawaban. "Kamu pasti bingung dan bertanya-tanya. Bia hanya demam tapi obatnya sebanyak itu." Fath menjeda ucapannya dan menarik nafas. "Bia sakit leukimia sejak dua tahun yang lalu. Imun dia lemah, makanya sering sakit dan bolak-balik masuk rumah sakit. Awalnya setiap lihat Bia aku merasa sedih, tapi setiap lihat Bia bersemangat sekolah dan ikut berbagai olimpiade, aku jadi ikut semangat lagi. Bia adalah penyemangat keluargaku saat kami sedang jatuh."

"Tak sampai disitu. Bia juga mengalami depresi karena perkataan orang-orang yang menyudutkannya. Contohnya kayak omongan Tante Cindy tadi. Untungnya, Mama menyadari kalau Bia menunjukkan gejala-gejala depresi. Bia dibawa ke psikeater dan mendapatkan perawatan. Tahun lalu, Bia mulai membaik dan mulai lepas obat penenang," jelas Fath.

Nadia menatap Fath tak percaya. Di kepalanya kini terputar memori saat Bia tertawa dan tersenyum. Selama ini Bia terlihat baik-baik saja. Air mata Nadia menetes begitu saja mendengar penuturan Fath.

"Jangan nangis, Nad. Hatiku sakit kalau kamu nangis," kata Fath.

Tangan Fath terulur untuk mengusap air mata Nadia namun tertahan di udara. Fath menarik lagi tangannya.

"Selama aku kenal Bia. Dia terlihat baik-baik saja," ujar Nadia pelan.

Fath menatap Nadia sendu dan mengulas senyuman tipis. "Terlihat baik-baik saja di luar bukan berarti keadaan hati dan mentalnya juga baik-baik saja, Nad."

Nadia membenarkan perkataan Fath. Banyak orang yang merasa bahwa dirinya mampu melewati semuanya sendirian, mengabaikan rasa sakit yang ada, dan memilih untuk memendamnya sendiri. Padahal, disaat kita sudah tidak kuat menjalaninya sendiri, kita juga butuh bahu untuk bersandar dan seseorang yang bisa diajak untuk bertukar pikiran.

"Aku minta sama kamu buat bersikap seperti sebelumnya sama Bia setelah mendengar ceritaku," kata Fath. "Kamu juga sudah tau alasan dulu kenapa aku minta putus sama kamu. Aku terlalu gegabah mengambil keputusan waktu itu karena takut. Takut kalau kamu nggak bisa menerima keadaan keluargaku."

"Di Malioboro waktu itu." Nadia menjeda ucapannya. "Kenapa kamu ngajak aku balikan lagi?" tanyanya.

Fath menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan menatap Nadia dengan cengiran khasnya. "Kamu tau Ari temanku waktu SMP?" tanyanya yang dijawab anggukan oleh Nadia. "Dia bilang kalau dia suka kamu. Makanya aku ngajak kamu balikan waktu itu karena aku nggak mau kamu dimiliki sama cowok lain," katanya.

Nadia merotasikan matanya. "Selain labil kamu juga egois," ujarnya kemudian kembali melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mengembalikan bekas tempat Bia makan tadi.

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang