Sesuai dengan janji tadi siang, sorenya sepulang sekolah Ruri langsung membawa Rumi ke apartemennya. Cowok itu sudah lama tak mengunjungi apartemennya sendiri, karena selama ini ia selalu menumpang di tempat Ago. Alasannya tak ingin tinggal di tempat ini pun karena kawasannya yang cukup sepi dan lumayan jauh dari sekolah.
Rumi yang sedari tadi hanya diam sambil memandangi kawasan elit yang mereka lewati. Ini pertama kalinya cewek itu memasuki kawasan elit ini, ia tak perlu kaget lagi sebenarnya jika Ruri membawanya ke tempat seperti ini, mengingat akan latar belakang keluarga cowok tersebut. tapi tetap saja, terkadang ada saat di mana Rumi tidak mempercayai pengelihatannya sendiri.
Saat sampai di depan gedung apartemen tadi, mereka disambut dengan patung kuda yang setengah berdiri. Dilihat dari luar saja orang-orang tau jika yang menempati apartemen di gedung ini pastilah orang-orang berdompet sangat tebal.
"ayo." Ruri mengenggam tangan kekasihnya tersebut. mereka masuk ke dalam lift dan Ruri langsung menekan angka 26.
"lo mau makan apa?" tanya Ruri sambil mengutak-atik HP-nya. Sibuk memesankan makan malam untuk keduanya.
"ter—"
"please, jawab sesuatu, jangan bilang 'terserah'."
Rumi mendengus kecil, "gue pengen bakso mercon."
"itu pedas."
"kalau gitu ayam cabe garam."
"itu juga pedas."
Rumi menatap cowok yang berdiri di sampingnya dengan tajam, sadar akan tatapan Rumi kepadanya membuat Ruri menoleh ke arah cewek itu lalu tersenyum manis.
"gue gak mau lo sakit perut."
"gue sudah kebiasaan makan pedas, gak bakal sakit perut!" sangah Rumi kesal.
Ruri mengangguk kecil, "tetap gak. Cari yang lain."
Rumi terlalu malas untuk melanjutkan perdebatan, "kalau gitu gue mau mi—"
"no mie! Ini sudah malam, besok pagi muka lo bisa bengkak kalau makan mie malam-malam!"
Lagi dan lagi Ruri menolak dengan tegas, pintu lift terbuka beberapa saat kemudian. Ruri lalu mengenggam tangan Rumi saat berjalan keluar, keduanya lalu berhenti di depan pintu dengan tulisan '236'. Ruri memasukkan beberapa kode sebelum akhirnya pintu itu terbuka.
Rumi kembali tercengang kaget melihat betapa mewahnya apartemen Ruri, lampu chandilier yang sangat cantik tergantung tepat di tengah-tengah ruangan, beberapa sofa beludru berwarna abu-abu dan biru tua, lantai yang terbuat dari granit berwarna hitam dengan sedikit corak putih. Bau citrus langsung menyambut indra penciuman Rumi begitu ia memasuki apartemen ini. bau yang sangat khas seperti Ruri.
"gila, sih. sudah lama gue gak ke sini," ucap Ruri yang turut memperhatikan sekitarnya. Ia tak ingat kapan terakhir kali ke tempat ini. untungnya para pelayan biasa rutin datang dan membersihkan apartemennya.
Rumi tak menanggapi ucapan cowok tersebut, fokusnya langsung tertuju pada beberapa figura yang terpajang di meja-meja. Tak banyak memang, hanya beberapa foto Ruri semasa kecil. Rumi menghentikan langkah begitu menangkap figura foto keluarga Ruri, tangannya lalu terjulur untuk mengambil figura tersebut agar bisa dilihat lebih dekat.
"ini... keluarga lo?" ia berbalik untuk menatap cowok yang kini sedang duduk santai di salah satu sofa.
Mendengar kata keluarga langsung membuat Ruri memfokuskan pandangannya ke arah Rumi, cowok itu mengerang pelan, harusnya ia segera menyembunyikan figura tersebut. ia bangkit dari duduknya dengan malas dan berjalan ke arah Rumi.
![](https://img.wattpad.com/cover/213157726-288-k442554.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
His Name, Ruri
Teen Fiction"Kepada Ruri Dhananjaya! Gue suka sama lo! lo mau jadi pacar gue?" akibat memilih dare, Rumi terpaksa menerima tantangan untuk menembak Ruri cowok yang terkenal dengan title 'playboy' dari teman-temannya, tidak sampai disitu saja, ia bahkan diminta...