Chapter 35

494 35 0
                                    

Meja makan keluarga Dewandaru hari itu terlihat lebih penuh dari biasanya, jika biasa mereka hanya akan menyajikan dua atau tiga lauk pauk, kini dimeja makan Katya dapat melihat beberapa makanan yang jelas dibeli dari luar.

Cewek itu menatap Dipta yang baru saja kembali dari kantor untuk makan siang dengan tajam, pasti pria itu sudah dikasih tau jika ada Ruri di rumah mereka. Dilihatnya pacar sang kakak yang kini turut menyusun beberapa piring untuk makan siang mereka.

"tumben beli makanan di Pagi Sore," celetuk Katya sambil menarik kursi yang biasa di dudukinya.

Dipta menatap anak keduanya itu kemudian tersenyum canggung, "mama tu bilang mau makan makanan Pagi Sore," ujar sang suami sambil mengkode istrinya yang kini sudah duduk dikursinya.

Davira menatap sang suami tajam sebelum akhirnya menatap Katya dengan senyuman manisnya, "gak papa, 'kan, kak? Sekali-kali," ujar wanita itu lalu mengelus rambut Katya dengan penuh kasih sayang.

Katya sangat mengenal kedua orang tuanya, mereka jarang membeli makanan mahal terlebih lagi dari restoran terkenal jika tidak ada hari spesial atau tamu spesial yang datang ke rumah mereka. Cewek itu menatap Ruri yang kini duduk di depannya, ia melihat jari-jari cowok itu yang dibalut oleh beberapa perban.

"katanya Kak Ruri ikut masak," ujar Katya, ia masih mempertahankan sifat juteknya jika berada di sekitar Ruri.

Cowok itu mengangguk kecil, "dikit," jawab Ruri pelan.

Ekspresi mereka semua berubah menjadi kaku begitu mangkuk soup yang baru saja diletakkan oleh Rumi di tengah meja makan, wortel yang dipotong berantakan serta dengan ketebalan yang berbeda-beda, nasib kentangnya pun tak jauh berbeda dari wortel.

"ini—"

"makasih loh Ruri sudah bantuin Rumi masak hari ini," sela Davira, wanita itu memegang tangan Katya di bawah meja, mengisyaratkan untuk anak itu tak mengomentari soup hari ini.

"kok wortelnya gak bentuk bunga, mama?" celetuk Iva polos.

***

Dari kecil Ruri terbiasa untuk makan dalam keadaan yang hening, hanya ada suara sendok dan garpu yang saling beradu dengan piring keramik setiap kali anak itu makan dulu. Tak ada yang berbicara, mereka hanya fokus pada makanan dan jika sudah selesai, mereka akan langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Seolah mereka hanyalah orang asing yang kebetulan makan di satu meja.

Melihat bagaimana hangatnya keluarga Rumi membuat cowok itu merasa iri, ruang makan dipenuhi dengan suara cempreng Iva yang sesekali masih mengomentari bentuk dari wortel dan kentang yang dimakannya walau anak itu sudah ditegur secara halus oleh Davira dan Rumi, ada juga Dipta yang terkadang membicarakan kejadian saat ia bekerja dikantor, atau Katya yang sibuk mengeluh akan semua tugas sekolahnya dan tentang teman sebangkunya yang menyimpan mie busuk di laci meja membuat isi kelas mereka menjadi sangat bau.

Meja yang mereka tempati padahal cukup sempit untuk diduduki oleh empat atau lima orang, rasanya pasti risih jika harus makan berdempetan dengan satu sama lain berbeda dengan meja makan rumahnya yang jauh lebih besar, lebih muat untuk menampung mungkin sepuluh orang. Tapi di meja yang sempit ini, bukan rasa risih yang Ruri temukan melainkan rasa hangat, kehangatan yang tak pernah ia rasakan dari keluarganya.

Orang tua Rumi begitu baik kepadanya, mereka sesekali menanyai Ruri tentang kehidupannya atau memberikan lauk secara tiba-tiba ke piring Ruri, Katya sesekali ingin melempar komentar pedas akan hasil masakan hari ini tapi di tahan oleh Davir. Ruri lalu melirik Rumi yang duduk disampingnya, cewek itu menoleh ke arahnya kemudian tersenyum kecil.

"kenapa? lo mau nambah?" tanyanya.

"engg—"

"tambah aja, Ru, jangan sungkan," ujar Dipta.

His Name, RuriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang