Damara hanya bisa memandangi wajah anak bungsunya yang tengah tertidur dengan tatapan sendu, rasa bersalah itu jelas masih ada, jika saja Shana tidak jeli dengan makanannya mungkin saja Ruri dalam keadaan sangat parah sekarang. Wanita itu duduk disamping tempat tidur Ruri sambil terus mengenggam tangan sang anak.
Ini adalah karma bagi Damara, padahal dulu ia sangat membenci Ruri dan berharap jika anak tersebut tak pernah lahir ke dunia ini. Ia selalu mengatakan dengan yakin dan lantang jika dirinya tak akan pernah mau menyayangi anak tersebut. Tapi sekarang, Damara menyesali semua perkataannya dan berharap bisa kembali ke masa lalu. Ia menyesal pernah memperlakukan Ruri dengan begitu buruk.
"mama makan dulu," ucap Shani yang baru saja datang sambil membawakan bubur untuk sarapan mereka pagi ini.
"enggak, mama mau nungguin Ruri bangun dulu," tolak Damara.
"Ruri itu bangunnya lama biasa, udah ma—"
"uhuk..."
Damara segera bangkit dari duduknya begitu mendengar suara batuk dari Ruri, wanita itu dengan panik menekan tombol yang berada di samping kasur Ruri.
"Ruri, Ruri gak papa?" tanya Damara dengan mata berkaca-kaca.
Butuh waktu untuk Ruri mencerna semua, tak lama kemudian dokter dan beberapa perawat datang ke ruangannya. Cowok itu hanya menuruti semua perintah dari dokter tersebut sampai akhirnya sang dokter merasa cukup dengannya.
"haus?" Shani menawari sang adik air minum, perempuan itu membuat kasur yang ditiduri Ruri jadi sedikit naik.
"ini jam?" tanya Ruri begitu selesai meneguk airnya.
"sembilan, kenapa? soal iz—"
"HP Ruri di mana?"
Tanpa banyak bicara Shani segera memberikan HP sang adik kepada pemiliknya, ia kemudian menatap Damara yang baru saja masuk ke dalam ruangan setelah berbicara dengan dokter tadi. Wanita itu berjalan mendekat ke arah Ruri.
Menyadari jika ada seseorang lagi di dekatnya membuat Ruri mengalihkan fokusnya sebentar dari benda pipih di genggamannya. Damara duduk perlahan di tempatnya tadi.
"mama... mama minta maaf, mama gak tau kalau kamu ada alergi udang," ucap wanita itu tulus.
Ruri mengangguk kecil, "gak masalah, lagian bukan sekali ini mama gak tau Ruri alergi udang," jawab cowok itu setengah cuek, ia kembali fokus dengan layar HP-nya.
"Ruri..." Shani sedikit mencubit sang adik.
"mak—maksudnya apa?"
Ruri tertawa sumbang, kini ia sudah tak berminat lagi untuk membalas chat dari teman-temannya, fokusnya tertuju pada Damara. Ekspresi wajah yang penuh akan rasa bersalah, mungkin karena wanita itu adalah seorang aktris, jadi tidak sulit baginya untuk berakting sedih.
Sudah lama Ruri membuang perasaan sayangnya kepada sang mama, Ruri tidak lagi mencari kasih sayang dari wanita dihadapannya saat ini. Ruri tidak ingin membuka perasaan itu lagi, ia tak ingin kembali terluka.
"mama lupa? Waktu Ruri umur tujuh tahun? Mama ngasih Ruri udang goreng, bahkan waktu Ruri sudah mulai sesak nafas, mama hanya diam menatap Ruri." Matanya memandang lurus ke kedua bola mata Damara.
Seolah menghipnotis wanita itu untuk kembali mengingat masa lalunya yang kelam, masa kecil Ruri yang hancur karena perbuatan ibunya sendiri. Mungkin jika dulu Damara meminta Ruri untuk menabrakkan dirinya ke sebuah truk, Ruri akan dengan senang hati melakukan hal tersebut, selama itu bisa membuat Damara mencintainya, selama itu bisa membuat Damara tersenyum kepada Ruri.
"Ruri!" Seru Shani panik, perempuan itu kemudian menarik Damara untuk segera pergi dari ruangan sang adik.
Damara yang mengingat kejadian tersebut lantas mulai menangis, ia ingat dengan jelas bagaimana tangan Ruri yang mencoba mengapai kakinya, memberi kode keras jika sang anak memerlukan bantuan medis disaat itu juga. Jika saja Eli tak segera mengecek keadaan Ruri mungkin nyawa Ruri sudah tak tertolong lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Name, Ruri
Teen Fiction"Kepada Ruri Dhananjaya! Gue suka sama lo! lo mau jadi pacar gue?" akibat memilih dare, Rumi terpaksa menerima tantangan untuk menembak Ruri cowok yang terkenal dengan title 'playboy' dari teman-temannya, tidak sampai disitu saja, ia bahkan diminta...