Hal pertama yang Rumi lihat ketika ia membuka kedua matanya adalah wajah khawatir sang papa, ia juga melihat ada kedua adiknya yang duduk di ujung ruangan, awalnya ia kebingungan bertanya-tanya kenapa dirinya bisa berakhir di atas ranjang rumah sakit sampai akhirnya ingatannya memutar kejadian beberapa jam lalu. Tanpa ia sadari air matanya mulai turun membasahi pipi, tubuhnya bergetar setiap kali kejadian mengerikan itu terus terputar di ingatannya.
"kak," panggil Dipta, ia memegang tangan anaknya itu perlahan.
Perlahan kedua netra coklat itu menatap ke arah Dipta, "pa..." ucapnya dengan suara bergetar.
Tanpa pikir panjang ia langsung menghambur ke dalam pelukan sang papa dan menangis dengan keras di dalam dekapan hangat tersebut, Dipta ikut menangis sambil memeluk erat tubuh sang anak, sebagai seorang ayah ia merasa gagal dalam menjaga putri-putrinya.
"kakak aman sekarang, ada banyak yang jaga di sini," ucap Dipta begitu tangis sang anak sedikti mereda.
Rumi perlahan melepas pelukan mereka, matanya lalu menatap ke sekeliling ruangan, ingatan terakhirnya adalah ia yang tengah menangis di dalam pelukan Ruri, ia mencari keberadaan sosok itu di dalam ruangan namun tidak menemukannya.
"Ruri di mana?" tanya Rumi kebingungan, mengingat bagaimana keras kepalanya Ruri tidak mungkin ia meninggalkan Rumi begitu saja, cowok itu pasti menunggunya sampai ia sadar.
"home," ucap Shana yang baru saja masuk ke dalam ruangan diikuti dengan dua detektif di belakangnya, "dia masih dalam masa hukumannya, akan kakak sampaikan jika kamu sudah sadar."
Rumi mengangguk kecil dengan perasaan yang kecewa, tak lama salah satu dari dua detektif itu mengajukan pertanyaan kepada Rumi menanyakan apakah dirinya sudah baik dan ingin meminta keterangannya, Rumi kembali mengangguk, lebih cepat mendapat keterangan maka akan lebih baik bagi mereka untuk menemukan keberadaan Matheo, Shana izin untuk pamit keluar begitu menerima panggilan telepon dari rumahnnya.
"kenapa, Shan?" tanya sang kakak.
"Ruri ada sama Kak Shana? Dia belum balik ke rumah sampai sekarang."
Shana terdiam kaku, ia mengumpat keras di dalam hati, seharusnya Shana tak menyuruh Ruri untuk keluar dari ruangan sendirian tadi.
***
"be mine, Ru."
Kesadaran Ruri perlahan terkumpul begitu merasakan denyutan menyakitkan yang berasal dari belakang kepalanya, tangannya terangkat berniat ingin menyentuh kepala belakangnya namun tersadar jika kedua tangannya kini tengah terikat. Saat kedua mata Ruri sudah sepenuhnya terbuka, ia baru menyadari jika dirinya kini tengah duduk di samping kursi kemudi, kepalanya menoleh ke samping kanan, menatap orang yang kini tengah mengemudikan mobilnya.
"Hanum?" panggilnya setengah tak percaya.
Hanum tersenyum lebar, "akhirnya kamu bangun! Kita hampir sampai, tenang aja!"
Ruri memperbaiki posisi duduknya, "where are you taking me?" tanyanya dengan suara serak.
"tempat yang cuman ada kita, Ru," ucap Hanum terdengar sangat bahagia, ia tak pernah melihat ekspresi seceria ini dari Hanum, tangan kirinya lalu menyentuh permukaan perutnya.
"you, me, and our baby."
Ruri terdiam, ia mencoba untuk mengingat kejadian sebelum dirinya berakhir di dalam mobil ini, Ruri ingat ia keluar dari dalam private room masih dalam keadaan baik-baik saja, sampai saat dirinya di parkiran, Ruri sebuah benda keras menghantam belakang kepalanya sampai ia jatuh pingsan, itu ingatan terakhir dirinya.
"lo yang nyerang gue?"
"this is our destiny! Tadinya aku mau nyamperin Matheo, terus aku liat kamu di parkiran." Hanum menatapnya dengan kedua mata berkaca-kaca, terlihat begitu bahagia karena bisa bertemu dengan Ruri.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Name, Ruri
Teen Fiction"Kepada Ruri Dhananjaya! Gue suka sama lo! lo mau jadi pacar gue?" akibat memilih dare, Rumi terpaksa menerima tantangan untuk menembak Ruri cowok yang terkenal dengan title 'playboy' dari teman-temannya, tidak sampai disitu saja, ia bahkan diminta...