Rumah adalah tempat berpulang yang paling nyaman, tempat di mana kita merasa aman. Setidaknya itu yang ada dipikiran orang-orang akan rumah mereka. Tapi bagi Ruri, rumah adalah nerakanya, sumber dari rasa sakit dan mimpi buruknya. Sejauh apa pun ia pergi, sebisa mungkin ia melupakannya, pada akhirnya Ruri tetap harus kembali ke tempat yang disebut rumah tersebut.
"kamu sudah pulang? Ruri mau dimasakin makan malam apa?" tanya Damara begitu melihat putra bungsunya berjalan memasuki rumah.
Ada banyak yang Ruri benci dihidupnya, termasuk dirinya yang masih bisa bernafas bahkan melihat dengan jelas wanita yang melahirkannya. Sebisa mungkin ia mengabaikan keberadaan Damara, bukan bermaksud jahat. Tapi Ruri tidak ingin menjadi sasaran amukan wanita itu, walau papa dan kakak-kakaknya bilang jika keadaan Damara sudah jauh lebih baik.
"tetap aja harus waspada."
Setiap kali mereka mengatakan Damara sudah menjalani pengobatan, Damara sudah menjadi lebih baik. Wanita itu pasti akan kembali ke sifat awalnya dan semua akan menyalahkan Ruri jika keadaan wanita itu kembali memburuk. Ruri hanya ingin menghindari kemungkinan terburuknya.
"Ruri..." panggil Damara dari ujung tangga, ia menatap punggung sang anak dengan tatapan sendu.
"Ruri capek," jawabnya singkat.
Damara sendiri tak dapat memaksakan kehendaknya, wanita itu tak ingin menyulitkan keadaan sang anak lagi, hanya ada mereka berdua di rumah besar ini. jika sesuatu terjadi sudah pasti salah satu diantara mereka akan disalahkan dan itu sudah pasti Ruri yang menanggungnya.
"bi, Ruri suka makanan apa, ya?" tanya Damara begitu memasuki dapur.
Meski di tolak setidaknya Damara masih harus berusaha untuk mendapatkan perhatian sang anak bungsu, setidaknya ia harus mencoba untuk mendapatkan hari Ruri, seperti Ruri kecil yang dulunya selalu berusaha mendapatkan perhatian Damara.
"Tuan Ruri gak pilih-pilih makanan nyonya," jawab sang pelayan.
Damara mengangguk kecil, ia lalu membuka kulkas khusus untuk menyimpan daging.
"masak bola-bola udang aja, ya, bi?"
"baik, nyonya!"
***
Ruri keluar dari dalam kamar mandi satu jam setengah berendam di dalam bath up, cowok itu melihat nampan yang terbuat dari perak berada di atas meja belajarnya, Ruri mengabaikan hal tersebut dan berjalan masuk ke dalam walk in closet-nya. Selesai berganti baju cowok itu langsung keluar dengan menggunakan baju kaos kebesaran berwarna putih dan celana pendek di atas lutut berwarna coklat muda.
Ruri membuka tudung nampan tersebut, Ruri langsung mengambil makanan pertama yang berhasil menarik perhatiannya, yaitu makanan dengan bentuk bola-bola. Cowok itu memperhatikan makanan tersebut cukup lama.
"ayam, ya?" gumam cowok tersebut lalu memakan setengah dari bola-bola itu.
Ditengah kunyahannya, Ruri mendengar HP yang tadi ditaruhnya di atas kasur bergetar, cowok itu berniat untuk mengambil HP-nya. Tapi belum jauh ia melangkah dari tempatnya berdiri semula, Ruri merasakan ada sesuatu yang aneh menjalar di kerongkongannya.
"uhuk! Uhuk!" ia menepuk-nepuk dadanya beberapa kali.
Tak hanya itu, Ruri bahkan mulai merasakan jika dirinya ingin muntah sekarang. Cowok itu dengan cepat pergi ke dalam kamar mandi, memuntahkan makanan yang ada di mulutnya di kloset. Mulutnya terbuka lebar, mencoba untuk meraup udara sebanyak-banyaknya karena sekarang ia merasa kesulitan bernafas.
Tangannya terus memukul dadanya dengan keras, ia ingin berteriak tapi suaranya sama sekali tak bisa dikeluarkan, jangankan mengeluarkan suara, Ruri bahkan tak mampu untuk bernafas dengan normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Name, Ruri
Teen Fiction"Kepada Ruri Dhananjaya! Gue suka sama lo! lo mau jadi pacar gue?" akibat memilih dare, Rumi terpaksa menerima tantangan untuk menembak Ruri cowok yang terkenal dengan title 'playboy' dari teman-temannya, tidak sampai disitu saja, ia bahkan diminta...