Ruri hanya bisa duduk di dalam mobil nya, menatap dari balik kaca mata hitam yang tengah digunakan olehnya sekarang, satu per satu orang mulai pergi meninggalkan area pemakaman sampai akhirnya yang tersisah hanyalah keluarga Dewandaru. Empat orang anggota keluarga itu tidak melepaskan pelukan mereka sedari awal acara pemakaman di mulai, mereka saling menguatkan satu sama lain.
Sampai akhirnya dirasa cukup, keluarga tersebut pun melangkah pergi dari makam Davira, mata Ruri dengan setia mengikuti setiap pergerakan Rumi, direkam nya dengan sangat baik ekspresi yang tengah ditunjukkan oleh cewek tersebut.
"tuan, ini saatnya kita kembali," tegur sang supir.
Memecah lamunan Ruri, ia lalu menatap ke arah bangku sampingnya, sebelum pergi ke pemakaman, Ruri sempat mampir ke toko bunga. Dilihatnya bunga lily putih yang sudah terbungkus rapi, tanpa mengindahkan ucapan dari supir, Ruri meraih buket tersebut dan segera keluar dari dalam mobil, persetan dengan aturan konyol dari kakeknya.
"untuk sementara waktu, lebih baik kamu tidak keluar dari rumah, jangan sampai anak buah Axel melihat keberadaanmu di luar."
Ruri mengabaikan seruan nyaring dari supir nya tersebut, dirinya juga tak akan berlama-lama, hanya menaruh bunga tersebut di atas makam Davira dan segera pergi. Sesampainya ia di depan makam wanita tersebut, Ruri langsung menaruh buket tersebut tepat di tengah-tengah makam Davira, ia berdoa sebentar dan ketika selesai, Ruri membalik tubuhnya dan bersiap kembali ke mobil.
Akan tetapi, rencana tersebut gagal ketika ia melihat sosok Rumi berdiri beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Ruri perlahan melepaskan kaca mata hitam yang digunakannya dan menatap Rumi dengan rindu, kenapa rasanya semakin hari mereka malah semakin menjauh?
"walau lo pakai mobil biasa, mobil lo tetap yang paling mencolok diantara mobil lainnya," ujar Rumi sambil melangkah mendekat.
Ruri tersenyum tipis, "sejak kapan lo tau gue ada di sini?"
"waktu peti mama diturunkan, lo baru datang, 'kan?"
"gue nyelinap keluar dari rumah, kinda hard but it still made it."
Tak ada percakapan lagi, mereka hanya diam sambil memandangi makam Davira.
"gue baca surat lo, sampai kapan kira-kira lo gak diperbolehkan buat keluar rumah?"
Ruri mengangkat kedua bahunya, "I don't know, kakek bilang sampai keadaannya tenang."
"lo gak papa, Rum?" kini giliran Ruri bertanya, ia menoleh guna melihat ekspresi macam apa yang tengah ditunjukan oleh lawan bicaranya.
Pertanyaan bodoh, jelas jika Rumi sedang tidak baik-baik saja sekarang. Ia baru saja kehilangan orang tuanya, sosok ibu yang selama ini mengurusnya, sosok yang paling dekat dengan Rumi.
"gue bingung harus kayak gimana habis ini, Ru. di satu sisi gue senang karena mama akhirnya gak ngerasain sakit lagi, tapi di sisi lain gue sedih karena harus hidup tanpa sosok mama. apa lagi Iva, dia masih kecil, tumbuh tanpa sosok ibu itu pasti berat. Dia ngehabisin masa kecilnya dengan ngeliat mama yang sakit-sakitan dan ekonomi keluarga yang buruk, sedangkan masa kecil gue dan Katya gak seburuk itu."
Ruri memegang perlahan tangan Rumi dan mengusapnya, "Iva kuat, Rum. Karena dia punya kakak yang kuat. Masa kecil dia gak seburuk itu, juga. walau tumbuh dengan kurangnya kasih sayang dari ibu, Iva tetap dapat kasih sayang dari kakak-kakak dan papa nya, iya, 'kan?"
Rumi mengangguk kecil seraya menghapus air mata yang kembali turun, tak tega, Ruri pun membawa cewek itu ke dalam pelukannya, memeluknya erat sambil mengusap punggung Rumi yang bergetar kecil dengan begitu lembut. Di rasa tenang, Ruri pun membawa mereka berdua untuk melangkah pergi.
![](https://img.wattpad.com/cover/213157726-288-k442554.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
His Name, Ruri
Dla nastolatków"Kepada Ruri Dhananjaya! Gue suka sama lo! lo mau jadi pacar gue?" akibat memilih dare, Rumi terpaksa menerima tantangan untuk menembak Ruri cowok yang terkenal dengan title 'playboy' dari teman-temannya, tidak sampai disitu saja, ia bahkan diminta...