Pagi itu, keluarga Arella sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kondangan. Meskipun Arella merasa pusing dan kepalanya terasa berat, dia tetap berusaha terlihat normal di depan keluarganya. Ayahnya sedang sibuk mencari jas di lemari, sementara bundanya memeriksa tas untuk memastikan semuanya sudah siap. Kevin, adiknya, sibuk memeriksa ponselnya, sesekali menanyakan apakah Arella ingin ikut.
"Nggak usah, Kak," Kevin berkata sambil tersenyum. "Aku mau ikut aja. Kan kakak juga udah bilang, pusing banget."
Arella hanya mengangguk pelan, matanya sedikit berkunang-kunang, tetapi dia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa sakit yang dirasakannya.
"Nek, Arel nggak ikutan ke kondangan," kata Arella kepada neneknya, yang sedang merapikan barang-barang.
"Oh, kenapa, nak?" tanya neneknya, khawatir. "Badan Kamu nggak enak?"
"Iya, Kepala Arel pusing banget, Nek. Tapi tenang aja, Arel di sini cuma sendiri sebentar. Nenek, sama Ayah, Bunda pergi aja," jawab Arella, berusaha terdengar meyakinkan.
Neneknya menatapnya dengan penuh perhatian, menyentuh dahinya dengan telapak tangan yang lembut. "Kamu udah makan kan, nak? Kalau pusingnya nggak hilang, panggil dokter, ya."
Arella mengangguk, senyum tipis di wajahnya menunjukkan bahwa dia mencoba meyakinkan neneknya. "Tenang aja, Nek. Arel cuma butuh istirahat sebentar."
Ayahnya yang sedang menyemir sepatu menatapnya sebentar dan berkata, "Kalau kamu masih pusing, kamu harus lebih hati-hati, Arella. Jangan sampai kenapa-kenapa." Suaranya penuh kekhawatiran, tapi Arella tahu ayahnya sedang terburu-buru.
"Tenang, Yah. Kakak baik-baik aja," jawab Arella, berusaha meyakinkan. Tapi hatinya berdebar-debar, dan ada perasaan cemas yang terus merayap.
Kakeknya yang sedang bersiap-siap di ruang tamu menambahkan, "Gak lama kok, paling malam kita udah pulang. Lagian nanti bibi yang datang, nemenin kamu. Jadi kamu nggak sendirian." Bibi, teman lama keluarganya, yang kerap kali datang saat mereka membutuhkan bantuan, selalu datang ketika situasi sedang tidak menentu.
Arella memaksakan senyum lagi, meskipun pikirannya tidak sepenuhnya di sana. "Iya, Kakek, Arel nggak apa-apa kok. Bibi pasti bisa nemenin Arel."
Kevin mendekat dan mengacak rambut Arella dengan senyum nakalnya, "Jangan terlalu diem, Kak. Nanti jadi tambah sakit."
Arella hanya tersenyum tipis, menepuk kepala Kevin, tapi dalam hati, ada perasaan tidak nyaman yang semakin menghimpit. Ia tahu,seperti akan ada sesuatu yang lebih besar yang sedang mengintai, sesuatu yang tidak bisa dia hindari.
Setelah keluarga Arella berpamitan dan berangkat, rumah menjadi sunyi. Hanya ada suara angin yang berdesir di luar, dan suara detak jam yang terasa lebih keras dari biasanya. Arella merasa sedikit lebih tenang, tapi perasaan cemasnya tak kunjung hilang.
Sambil duduk di sofa, Arella merasakan kepalanya semakin berat. Ia memutuskan untuk masuk ke kamar dan berbaring sebentar, berharap rasa pusing ini segera hilang. Saat ia berjalan menuju kamar, matanya tertumbuk pada kaca meja rias yang dipenuhi dengan barang-barang perawatan wajahnya. Tapi sesuatu di sana membuat darahnya terasa beku.
Di kaca itu, ada tulisan besar yang ditulis dengan lipstick merah terang:
"Jangan coba sembunyi, lu nggak aman di sini. Semua yang lu sayangi bakal hilang."
Arella terdiam, matanya terbeliak saat membaca pesan itu. Hatinya berdebar kencang. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menatap tulisan itu, seolah-olah dia bisa membacanya lebih dari sekali, berharap itu hanya sebuah mimpi buruk. Tetapi kenyataannya, itu adalah ancaman nyata.
![](https://img.wattpad.com/cover/274768889-288-k872784.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
REL & HAN (END)
Teen FictionReyhan Alexander adalah cowok tampan dengan kepribadian yang bikin banyak cewek terpikat. Sebagai anak dari seorang pengusaha sukses, Reyhan sering terlihat menikmati hidup dengan caranya sendiri. Dia suka melakukan hal-hal spontan seperti keliling...