Vanya terus menutup matanya di atas sebuah kursi dimana tubuhnya di ikat sebegitu kuat. Seolah-olah orang yang menculiknya ini ingin menghancurkan tubuhnya.
"Lepaskan aku" lirih suaranya terdengar begitu menyenangkan di telinga seorang perempuan yang sejak tadi memperhatikan.
"Apa salahku?"
Perempuan tersebut terkekeh mendengar pertanyaan Vanya lalu bangkit mendekat pada gadis itu. Mengelus rambut Vanya pelan namun terkesan main-main.
"Advanya Sera, orang miskin sumber masalah dalam keluarga ku "
Apa ini? Perempuan ini saja Vanya tidak kenal, lantas bagaimana bisa dia di tuduh seperti ini?
"A..Aku tidak mengenalmu, jadi bagaimana bisa aku membuat kesalahan di keluargamu?" Vanya berusaha tenang meski tubuhnya semakin bergetar karena gadis berperawakan tinggi putih di depannya semakin mendekatkan wajahnya.
"Kau menghancurkan pernikahanku! Ingat saat kau ke kantor polisi waktu itu? Ingat?!" Vanya tersentak karena kepalnya di dorong kuat. Dia ingat, saat itu dirinya menjadi saksi atas kasus pelecehan terhadap seorang perempuan yang terjadi di dekat kost nya.
"Kau menjebloskan tunanganku ke penjara dan itu membatalkan acara pernikahan kami yang tinggal satu bulan lagi!"
Vanya mendongak kaget "Tapi dia jahat. Aku tidak tega melihat gadis yang ia seret paksa. Aku hanya menolong, karena gadis itu terus berteriak" dengan keberanian sekecil kuku ia membalas tatapan gadis itu, berusaha menjelaskan apa yang saat itu ia lakukan.
"Kau kira aku percaya? Kau hanya orang asing yang bersikap semena-mena disini. Jadi bagaimana bisa aku lebih mempercayaimu daripada kekasihku!"
"Tapi——"
Perkataan Vanya terputus saat sebuah tamparan keras menyapa pipinya. Wajahnya tertoleh dengan mata tertutup, merasakan bagaimana panas bekas tamparan itu mampu membuat telinganya berdenging.
"Bebaskan kekasihku atau kau ku siksa sampai mati disini?"
Vanya menelan ludah. Sulit baginya mendorong diri sendiri untuk membebaskan pria itu. Dia tidak mau. Gadis yang dia tolong dari pria itu saja bahkan menangis sambil memeluknya, berterimakasih karena di selamatkan. Jadi, bagaimana bisa dia mencabut kesaksiannya hanya untuk menyelamatkan pernikahan gadis ini.
Vanya bertekad, tidak akan pernah mau melakukan hal itu.
°°°
Varon terus menatap gerak gerik Sangga yang begitu tenang bermain sendiri di halaman depan. Hari ini Hashi dan Pram sedang pergi, membuatnya harus menemani Sangga bermain. Namun, meski ada kata menemani, bukan berarti mereka bermain bersama, dirinya dan Sangga justru berada di tempat masing-masing yang agak berjarak karena kekesalan Sangga semalam membuat anak itu masih acuh padanya.
"Ayo makan siang" Ajak Varon seraya mendekati sang anak.
"Aku tidak lapar, ayah deluan saja" Sangga menjawab tanpa menatap Varon.
"Tapi kau belum makan sejak pagi—"
"Aku tidak lapar ayah" tegas Sangga.
"Sejak pagi belum makan tidak mungkin kau tidak lapar"
Mendengar kalimat itu Sangga akhirnya bangkit dan tanpa melirik ayahnya, anak itu masuk ke dalam rumah.
"Suka yang mana?"
Dengan sigap Varon mengambilkan makanan yang Sangga tunjuk. Selama makan siang berlangsung, mereka tidak berbicara sedikit pun sebab Varon memang menerapkan tidak boleh berbicara saat makan.
Terlalu fokus pada peraturan tersebut membuat Varon sampai tidak memperhatikan Sangga yang kini ternyata sudah terdiam kaku karena menangkap kehadiran seseorang.
"Bibi Anne" Varon sontak mengangkat kepala mendengar bisikan Sangga. Melihat anak itu menatap belakangnya, Varon ikut menoleh.
"Annette"
Yang di sebut namanya memutar mata malas. Dengan senyum mengejek ia mendekat ke meja makan.
"Senang merasa bebas di rumah orang, heh?" Tahu Annette selalu emosi jika mereka bertatap muka, Varon memilih diam tidak membalas.
"Suka makanannya?" Sekarang Annette beralih pada Sangga. Dengan langkah angkuhnya, ia mendekati anak itu sehingga membuatnya menunduk takut.
Annette tertawa kecil sambil menghela "Seharusnya tidak perlu bertanya. Tentu saja kau suka karena makanan disini jauh lebih enak daripada makanan di panti asuhan sana"
Memegang dagu sang anak, Annette kembali bersuara "Benar kan?"
"Annette, berhenti menyakiti anakmu!" Suara Varon mengudara agak keras setelah melihat Annette mulai mencengkram dagu Sangga.
"Anakku? Setelah melihat semua perlakuanku, kau masih berpikir aku menganggapnya anak?"
"Otak sempit, sialan" Tawa mengejek Annette mengudara.
"Stop bersikap kekanak-kanakan. Kita sudah sama-sama dewasa un——"
Ucapan Varon terhenti saat Annette mengangkat tangannya, menginterupsi agar diam.
"Dari pada banyak bicara, lebih baik selesaikan makanan kalian lalu pergi dari rumah ini" Annette merubah tatapannya menjadi datar
"Apa kau tidak malu tinggal di rumah orang yang bukan keluargamu? Bahkan dengan berani mengaku pada orang tuaku jika anak sialan ini lahir dari rahimku? Tidak tahu malu!"
Varon bangkit menarik Annette cepat ke arah ruang tengah.
"Disini ada Sangga, kau menyakitinya Annette?!" Varon mulai emosi.
"Kau pikir aku peduli? Siapa kalian yang harus aku jaga perasaannya?"
Varon memejamkan matanya sejenak "Bisa kita bicara lebih serius? Aku mohon dengarkan aku kali ini" dirinya mau Annette menuruti perkataannya.
"Tidak, aku tidak suka mendengar hal yang tidak penting" Annette menyentak tangannya yang masih Varon penang sebelum kemudian melangkah pergi.
"Cepatlah pergi dari sini!" Teriaknya sebelum benar-benar menghilang di balik pintu.
Sebenarnya kedatangannya kerumah orang tuannya untuk bertemu Alika. Mengajaknya pergi berbelanja atau kemanapun untuk menghilangkan sedikit ke kusutan di otaknya. Namun ternyata di dalam rumah ini hanya ada pria sialan dan anaknya itu, yang mana tengah berlaku seenaknya seperti di rumah mereka sendiri. Benar-benar membuatnya muak.
Saat sudah berada di dalam mobil, ponselnya berdenting. Sebuah pesan masuk.
"Sudah berubah pikiran, hm?"
Annette berdecak. Lagi-lagi ada yang membuat moodnya semakin berantakan. Ayahnya sangat menyebalkan.
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
AFFECTION
RandomRasa sakit yang terus menyapa, membuat Annette hampir kehilangan kewarasan. Masa lalu kelam yang terus terbayang, menjadi penyebab utama dirinya membenci orang yang dulu begitu ia cintai. "Aku tidak akan pernah mencintaimu lagi walaupun kau berada l...