8

5.6K 223 3
                                    

Vanya menarik nafas dalam-dalam. Sejak lima belas menit yang lalu dirinya kebingungan di sebuah taman dekat kost nya. Sudah dua hari ia berada di tengah kota ini berbekal foto Sangga dan keberaniannya, gadis dua puluh lima tahun itu terus berjalan mencari keberadaan anak itu.

Sebentar lagi malam mulai menyapa, tapi hari ini dirinya bertekad akan tetap mencari sampai jam delapan malam. Jika tidak ketemu, besok akan ia lanjutkan lagi.

Sudah hampir dua jam lebih Vanya berjalan dan bertanya pada orang sekitar tentang foto anak kecil yang ada di tangannya. Namun tetap seperti dua hari kemarin, tidak ada yang mengenal bahkan melihat Sangga.

Ponselnya tiba-tiba berdering. Ternyata ibunya menelpon.

"Halo ibu?"

"Halo. Sedang apa, nak?"

"Sedang makan bu. Ibu sudah makan?"

"Sudah. Ibu kira kau tengah mencari Sangga"

"Memangnya kenapa?" Vanya menghela napas. Maaf jika dirinya berbohong. Jujur saja dia sudah sangat lelah sekarang, tapi mengingat Sangga, ia harus semangat.

"Tidak. Ibu hanya khawatir kau tidak menjaga kesehatan disana. Ibu tahu pasti kau akan terus mencarinya tanpa kenal lelah."

"Tidak, aku beristirahat juga disini. Meski kadang lelah tapi aku harus kembali kuat"

Sera mengangguk meski Vanya tidak melihatnya "Istirahatlah malam ini dengan nyaman. Kau bisa mencarinya besok lagi"

"Iya ibu, kalau begitu sudah dulu yah. Aku akan tidur"

"Iya. Selamat malam sayang"

Sambungan terputus.

Vanya mengedarkan pandangannya. Sudah hampir pukul delapan malam, sebaiknya ia pulang. Besok ia akan berusaha lagi. Lagi pula tubuhnya juga sudah terasa lengket karena sejak pagi terus berjalan.

Jarak kost dengan taman bisa di bilang lumayan dekat. Tapi meski begitu, dirinya harus tetap waspada  karena jalanan yang hampir mendekati kost agak sunyi dan hanya beberapa orang saja yang kadang lewat. Vanya takut, ada orang jahat  yang akan mencelakainya.

"Padahal baru jam delapan malam, tapi kenapa satu orang pun tidak ada yang lewat di jalan ini" Gadis itu memeluk tasnya erat sambil mempercepat langkah. Sesekali ia menoleh ke belakang, karena jujur saja dirinya adalah seorang penakut.

Sampai saat gerbang tempat tinggalnya hampir terlihat, Vanya terbelalak ketika sebuah sapu tangan tiba-tiba membekap hidung dan mulutnya. Tangannya di cengkeram erat, sambil di paksa ikut dengan orang yang kini membiusnya. Sempat ia memberontak namun kegelapan terlalu cepat menyapa penglihatannya. Membuat tubuh kecilnya dengan mudah di bawa pergi entah kemana.

°°°

Annette menatap datar sang ayah yang sedang duduk tenang di depannya. Sekarang dirinya berada di ruang kerja Pram setelah sebelumnya di tarik paksa Alika karena menolak keluar dari kamar. Sudah hampir lima menit tidak ada percakapan membuatnya mendengus malas.

"Masih ingat Razi?" Vanya mengerut tidak suka mendengar nama yang di sebut Pram.

Pram terlihat menunggu jawaban, membuat Annette mengangguk malas.

"Iya"

"Masih ingat juga dengan kesepakatan mu dan orang tuannya?"

Annette berdiri kasar "Apa yang ayah inginkan? Tidak usah bertanya-tanya tentang hal lain" ucapnya muak.

"Jawab dulu pertanyaan ayah" Annette memutar mata malas.

AFFECTION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang