34

4.6K 233 17
                                    

Pagi hari kedua orang tua Annette dan Varon kembali datang.

"Sudah ada perkembangan?"

"Belum ibu"

Di samping Hashi, Pram  merentangkan tangan menawarkan pelukan membuatn Annette buru-buru menyambut. Kepalanya di usap pelan oleh sang ayah, membuat perasaan emosional itu kembali.

"Semua akan baik-baik saja, nak. Jangan terlalu bersedih, ini pasti akan terlewati" Annette semakin mengeratkan pelukannya.

Dadanya kembali sedak.

"Bagaimana jika——" Pram menggelang menatap mata sang putri.

"Mereka bisa, pasti bisa"

"Dia masih kecil ayah, bagaimana bisa dia mengalami hal seburuk ini" Annette menunduk tak kuasa menahan tangis.

"Ini sudah takdir, berhentilah mengatakan hal-hal seperti ini. Kau hanya perlu berdoa untuk mereka"

"Safa——" Pram kembali menenangkan saat tangisannya semakin terdengar.

Di tempatnya Riri mengulum bibir. Menantunya sendirian sekarang tanpa figur Varon. Tadi pagi dirinya sudah mendengar semua masalah rumah tangga anak-anaknya itu dari Vanya. Sungguh emosi ingin menghampiri Varon sangat besar, tapi suaminya berhasil menahan keinginkannya itu karena untuk sekarang Annette jauh lebih penting.  Biarkan saja dulu pria itu pergi kemana pun yang dia mau. Dan sampai saat nanti mereka bertemu, lihat saja apa yang akan ayahnya lakukan padanya.

Annette mengurai pelukannya.

"Dimana Vanya?"

"Dia pamit pulang sebentar"

Ah wanita hamil itu pasti kelelahan.

"Ingin kemana?" Hashi bertanyaa saat Annette beranjak dari sisinya tiba-tiba.

"Mencari udara segar"

Para orang tua mengangguk lantas membuarkan Annette berlalu.

Saat wanita muda itu sudah menghilang di balik dinding, Riri menghela pelan.

"Bagaimana dengan keputusan anak itu?"

"Jangan dulu melakukan apapun, berikan waktu agar semuanya berpikir jernih. Sekarang bukan waktu yang tepat, Annette masih terlalu emosi" Bimo memberi sedikit solusi, berharap dua wanita yang ada di di depannya paham.

"Demi masa depan Sangga, tetaplah berpikir kritis"

°°°

"Siapa yang menjaga Sangga?"

"Ayah ibu dan mertuaku"

Annette menempatkan diri di samping Vanya. Pandangannya lurus menatap lamat wajah pucat gadis di depan mereka. Hari kedua di rumah sakit ia sangat bersyukur karena Sangga dan Safa sudah bisa di jenguk. Namun ada perbedaan yang menonjol di antara mereka, jika Sangga bisa di jenguk secara bebas, maka Safa belum. Gadis ini masih berada di ruang ICU.

"Kapan dia akan membuka matanya, Vanya?"

Vanya menggeleng sedih.

"Dimana dokternya?"

"Ku rasa di ruangannya. Baru saja ia keluar setelah memeriksa"

Kursi berderit kecil, Annette bangkit. Tangan hangat Safa ia genggam sebentar.

"Tetaplah bertahan, hm? Aku merindukanmu" Dengan pelan satu kecupan mendarat pada pipi Safa.  Annette tersenyum miris. Perempuan cerewetnya sekarang tidak bisa berbicara.

AFFECTION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang