Kepergian Rufus memang sedikit mengembalikan ketenanganku dan Beast, tapi kegelisahan sudah terlanjur mengobrak-abrik suasana hati kami. Waktu berlalu lama hingga aku dan Beast memutuskan untuk beristirahat. Aku kembali ke kediaman Salvatore ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam.
Percobaanku untuk tidur tidak berjalan mulus karena tubuhku berguling tanpa henti di atas ranjang, mencari posisi nyaman yang tak kunjung kutemukan. Ketika nyaris terlelap, benakku tersentak bangun lagi saat memikirkan pengakuan Rufus.
Semua akan baik-baik saja, aku menenangkan diri sendiri. Naga Agung tidak akan menuduhku bekerja sama dengan Rufus untuk menyusup ke Dracaelum. Tidak, itu semua dilakukan Rufus sendiri. Naga raksasa itu tidak akan marah padaku atau memutus ikatanku dengan Beast, atau memaksa nagaku menyerangku lagi.
Semua itu tidak akan terjadi, dan tetap saja, aku tidak bisa tidur.
Kuputuskan untuk keluar lagi, mengira akan menemukan ketenangan bersama Beast. Namun ketika tiba di pintu depan, aku sudah bisa mendengar suara percakapan dari luar.
"Yang benar saja?!" Kaia mendesis pelan. "Pemuda itu? Dracaelum?!"
Aku mengerang pelan. Biasanya dua naga ini berdebat, sekarang mereka justru bergosip.
"Kau tahu apa yang bajingan ini katakan? Dia bilang dirinya sahabat Naga Agung. Sahabat, Kaia! Itu seperti... Cassie dan Immy. Tapi ini bahkan lebih buruk."
Kaia terkesiap. "Sahabat?! Demi sisik Draig yang agung, aku tahu pemuda ini sudah tidak meyakinkan dari awal. Bukan hanya mencoba menyaingi penunggangku, ternyata dia juga banyak berbohong."
"Aku sudah punya rencana," Beast mencetuskan. "Saat bertemu dengannya lagi, aku akan menyemburkan asap halusinasi, lalu kau bisa—-"
Kubuka pintu depan, menyela rencana pembunuhan yang sudah disediakan Beast.
"Kita tidak akan membunuh siapa pun," aku berkata tegas, walau suara lelahku terdengar kurang meyakinkan.
"Cassie?!" Beast terdengar jengkel. "Bukankah seharusnya kau tidur?"
"Kebetulan pengakuan Rufus membuatku sulit terlelap," jawabku. "Kuulang sekali lagi, kalian tidak akan membunuh siapa-siapa."
"Kau yakin, Cass?" Kaia memastikan ulang. "Maksudku, aku akan dengan senang hati membantu Beast."
Kugelengkan kepala dengan lebih keras. "Besok akan kuceritakan ini pada Ben sebelum kami menemui Rufus. Aku yakin masih ada cara untuk membujuknya berpikir ulang."
Beast dan Kaia sama-sama bertukar pandangan skeptis. "Baiklah," nagaku berkata, "tapi kalau segala sesuatu tidak berjalan lancar, bawa saja Rufus ke hadapan kami."
━━━━━━━━━▼━━━━━━━━━
Pada tahap ini, aku tidak yakin apakah yang kulakukan benar atau salah.
Ben menanggapi dengan lebih tenang saat aku menjelaskan, walau sorot matanya yang sering terbelalak dan rahangnya yang mengetat membuatku ragu untuk menjelaskan lebih jauh. Aku khawatir dia tidak akan melakukan hal semurah hati ini kalau mendengar langsung dari Rufus.
Para naga menunggu di tepi pusat desa sementara aku dan Ben menelusuri jalanan yang lebih sempit menuju penginapan Rufus. Sesekali aku menoleh ke arah Ben, hanya untuk mengamati pemuda itu sedang terdiam dengan wajah kusut dan rahang masih mengatup rapat.
Akhirnya kuraih tangan Ben dari samping dan ketegangan di wajahnya berangsur berkurang. Rahangnya melemas saat menoleh ke arahku. Tanpa berkata-kata, Ben meraih bahuku dan merangkulku ke dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas 3: A Dance of Fire and Sorcery
FantasyApi dan sihir. Penunggang naga dan penyihir. Persahabatan dan pengkhianatan. | • | Hampir dua tahun berlalu, Cassidy dan Beast masih menjalankan tugas mereka sebagai duta Andarmensia bagi Dracaelum. Namun, keanehan terjadi. Naga Agung ingin menghent...