Bab 10

71 17 7
                                    

Sepanjang mendengar ceritaku, Immy tidak ada menunjukkan perubahan ekspresi, seakan dia pun sedang bertanya-tanya apakah aku bicara ngawur atau serius. Ketika cerita berakhir pun, Immy masih terdiam beberapa detik sebelum memberi balasan.

"Wow." Kedua alisnya terangkat. Ditatapnya diriku dengan penuh keprihatinan. "Cassidy, apa kau baik-baik saja?"

"Aku?"

"Ya, karena pada tahap ini, bisa dibilang tidak ada sahabatmu yang normal," ujar Immy. "Satunya penyihir yang kabur dari keluarganya dan pernah membantu penjahat, sementara satu lagi adalah mantan sahabat naga sinting."

Aku mengeluarkan erangan tertahan. "Bisakah kita tidak membicarakan itu dan membahas pokok permasalahan? Kita perlu seseorang untuk mengawasi Rufus."

Immy mengangguk kecil sambil mempertimbangkannya sebentar. "Aku yakin Santiago akan memberi izin. Tokonya sedang ramai akhir-akhir ini, makanya aku agak kasihan kalau dia bekerja sendiri."

"Aku mau saja mengajukan diri," Ben menyeletuk, "tapi Cassie pikir itu bukan ide yang bagus."

"Yah, sebenarnya Cassie ada betulnya," ujar Immy, memihakku.

Raut masam terpampang di wajah Ben. "Sekadar memberi tahu, aku tidak seburuk itu dalam pengendalian diri."

"Tapi, kuduga kau tidak pernah menyiapkan diri untuk menghadapi pemuda dengan tampang lumayan yang pernah menjadi 'sahabat' Cassie," celetuk Immy.

Sorot mata Ben berubah datar. "Oh, jadi menurutmu tampangnya 'lumayan'? Kenapa, Casimir? Mulai jatuh hati padanya?"

"Syukurlah berkat keluargaku, aku jadi tidak tertarik menjalin hubungan romantis dengan lekaki."

Buru-buru kutengahi perdebatan keduanya. "Daripada membahas hal-hal yang tidak relevan, sebaiknya kita mulai membicarakan rencana mengawasi Rufus Stone. Bagaimana, Immy?"

"Tentu, tapi aku harus minta izin Santiago dulu," dia berkata sembari beranjak dari kursi. "Kalau pria tua itu mengizinkan, kita akan segera menyusun rencana."

━━━━━━━━━▼━━━━━━━━━

Sisa hari Minggu kuhabiskan dengan Beast di tepi hutan, tempat favorit kami untuk bersantai sambil menikmati pemandangan laut.

Untunglah Santiago mendukung rencana kami, bahkan menawarkan untuk mengajari beberapa mantra yang bisa membantu Immy dalam proses pengawasannya. Setelah menyelesaikan pembahasan rencana, barulah aku dan Ben kembali ke Morze. Kuceritakan hasil diskusi kami tadi pagi pada Beast. Dia diam saja sambil mendengarkan, sekadar memberikan komentar pun tidak.

Di akhir cerita, nagaku masih menolak bicara meski gerak-geriknya menunjuk kegelisahan secara samar. Kudapati dia menengadah, memandangi langit siang hari di sela-sela dedaunan pohon rimbun, mencari pengalih perhatian dari topik sebelumnya. Dia menggumamkan sesuatu.

"Kau bilang apa?" tanyaku lagi.

"Komorebi," ulang Beast. "Cahaya matahari yang bersinar di sela dedaunan."

"Aku pernah memberitahumu?"

Beast mengangguk. "Di awal pertemuan kita di Matumaini."

Kucoba untuk mengingat-ingat kembali. "Kalau tidak salah, kau baru saja bertengkar hebat dengan Kaia waktu itu."

"Salah dia sendiri punya penunggang berdarah campuran," gerutu nagaku. "Sampai sekarang aku masih benci manusia, dari kaum mana pun."

Beast menundukkan kepalanya, mengamati pedesaan di dataran yang lebih rendah dari tempat kami duduk. "Sekarang para naga pun tidak ada bedanya," dia menambahkan perlahan. "Tidak ada satupun makhluk di dunia ini yang waras."

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang