Rufus membangunkanku pada pagi harinya untuk sarapan.
Aku tidak yakin tidurku nyenyak. Gua naga terasa dingin dan lembab, belum lagi bau para naga yang tersisa di gua ini terpaksa kucium sepanjang malam, menambah kesukaran untuk sekadar memejamkan mata. Bahkan nagaku turut terjaga cukup lama, terlebih karena tidur dalam tubuh manusia membuatnya tidak tenang. Ketika pagi tiba, hal pertama yang kulihat adalah wajah masam Beast disertai sepasang matanya yang cuma mampu dibuka setengah.
Melihat gaya berpakaian Rufus membuat dahiku mengerut dalam. Sekilas aku menatapnya dengan heran, seakan dia berasal dari dunia lain. Tapi, kaus oblong putih dan jeans biru yang dia kenakan memang berasal dari dunia lain--begitu pula dirinya. Aku saja yang sudah lama tidak melihat seseorang berpakaian semacam itu.
"Makan sarapan kalian. Kita akan pergi hari ini." Tatapannya beralih ke arah Beast. "Nagamu tetap di sini."
Beast menarik napas tajam, barangkali siap menyembur sumpah serapah ke arah Rufus. Akan tetapi, pengendalian dirinya sedang cukup baik. "Memangnya kenapa aku tidak boleh ikut?"
"Karena tidak ada gunanya kau ikut," Rufus membalas santai. "Aku dan Cassie akan pergi ke New Orleans. Kau tetap di gua naga ini, yah... meskipun kau tidak bisa disebut naga."
Aku menahan tangan Beast sebelum dia menerjang Rufus. Pemuda itu pergi dengan seulas senyum mengejek di wajah.
"Makan, Beast," suruhku.
"Kau mau aku makan di saat seperti ini?" geramnya. "Lama-lama aku bisa segila dirinya, Cass!"
Aku berdesis menenangkannya. "Aku tahu itu menjengkelkan, tapi membuat dirimu lapar tidak akan membantu."
"Lalu bagaimana denganmu?" tanyanya lagi. "Kau mau pergi dengannya? Bagaimana kalau dia menculikmu atau memisahkan kita?"
"Tidak akan kubiarkan itu terjadi," aku berujar tenang, mengabaikan deru jantungku yang bertambah cepat saat memikirkan kemungkinan-kemungkinan tersebut. "Sudah kubilang aku akan mencari cara untuk kembali padamu, ingat?"
"Aku tahu, Cassie, tapi sadarilah kalau ucapanmu tidak terlalu masuk akal," Beast berbisik geram. "Aku lebih berharap semua itu tidak perlu terjadi."
Rufus berdeham keras dari tempatnya berdiri. "Apa kalian sudah selesai?"
Entah dia mendengar atau tidak, yang jelas Rufus tidak berkomentar lebih lanjut. Aku memaksakan diri menyantap sisa makanan. Beast melakukan hal serupa setelah aku membujuknya.
Seusai kami mengisi perut, Rufus berjalan ke dekatku, membantuku bangun dari tempat duduk. Beast ikut berdiri dengan mata tersorot sinis. Namun, nagaku berjuang sekuat tenaga untuk meredam amarahnya.
"Aku tidak akan mengganggu," Beast berjanji, belum menyerah pada keputusan tadi. "Aku tidak akan bicara kalau memang diperlukan, tapi biarkan aku ikut."
Mendengar semua itu membuat kekuatanku hilang seketika, tidak tega melihat kekhawatiran dalam tatapan Beast. Akan tetapi kami luput memperhatikan permata di leher Rufus yang telah menyala. Belum sempat aku membela Beast, Rufus sudah membawa kami pergi.
Teleportasi berjalan lebih mulus dari yang kuduga. Memang masih ada guncangan dan ketidaknyamanan di perutku, tapi tidak seheboh teleportasi pada umumnya. Barangkali sihir Rufus yang besar turut mempermudah hal tersebut.
Aku segera memeriksa sekitar. Tidak ada Beast. Kerumunan orang berjalan lalu-lalang tanpa merasa terganggu atau kaget dengan kemunculan kami.
"Kenapa kau meninggalkannya?" aku bertanya kesal. "Dia cuma khawatir padaku. Tidak seharusnya kau-—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas 3: A Dance of Fire and Sorcery
FantasyApi dan sihir. Penunggang naga dan penyihir. Persahabatan dan pengkhianatan. | • | Hampir dua tahun berlalu, Cassidy dan Beast masih menjalankan tugas mereka sebagai duta Andarmensia bagi Dracaelum. Namun, keanehan terjadi. Naga Agung ingin menghent...