Bab 21

72 14 11
                                    

Karena aku harus menulis laporan untuk Madam Jackson, Ben bertugas menjelaskan apa yang telah kami saksikan barusan kepada Beast dan Kaia.

Kemampuan menulisku ternyata cukup berguna ketika diharuskan menceritakan ulang kisah Rufus, walau aku harus mengingatkan diri agar tidak terbawa suasana dan mendramatisir keadaan. Sudah cukup lama aku tidak menulis cerita apa pun, terlebih setelah pindah ke Andarmensia dan disibukkan dengan berbagai kegiatan. Sekadar mengulang kisah Rufus sedikit mengobati kerinduan pada hobiku yang satu ini.

Akan tetapi, seringkali konsentrasiku terpecah gara-gara melamunkan Rufus. Kalau dipikir-pikir, seharusnya kuberi dia semangat atau semacamnya. Karena sibuk memikirkan itu, perlahan suasana hatiku campur-aduk, turut memengaruhi tulisanku. Dari yang semula masih cukup detail, semakin ke belakang aku semakin menyingkat cerita, memasukkan hal-hal penting saja.

Ben masuk ke kamar ketika laporan sudah setengah jadi. Dia mendekati meja kerja dan menundukkan tubuh di sebelahku, ikut memeriksa segala sesuatu yang telah kutulis.

"Aku harus menyerahkan ini besok pagi," jelasku. "Setidaknya ada informasi yang bisa kuberikan kepada Madam Jackson dan Mr. Lormant."

"Aku bisa menyelesaikan sisanya," tawar Ben.

"Tentu," kuterima bantuan tersebut tanpa ragu. Kuberi instruksi bagi Ben mengenai poin-poin yang harus kami sampaikan lalu membiarkannya bekerja sementara aku duduk di ranjang, mencoba mengalihkan pikiran dengan membaca buku meski konsentrasiku terus buyar ke mana-mana.

"Well...," kudengar Ben bersuara setelah beberapa saat berlalu, "seburuk-buruknya penunggang berdarah campuran, lebih melelahkan menjadi penyihir yang lemah di Dracaelum zaman dulu."

Aku menoleh ke arahnya. Kulihat Ben masih fokus menulis. Untaian rambut hitamnya yang lolos dari ikatan kini terjuntai di sekitar wajah. Kuambil ikat rambut dari nakas dan berjalan mendekati Ben.

"Entah seperti apa rasanya terbangun dari kecelakaan dan mendapat ingatan-ingatan seperti itu," aku berkomentar. Kulepas ikatan rambut Ben dan menata ulang rambutnya. "Setahuku, penyihir tingkat biasa di Andarmensia tidak diperlakukan seperti itu, bukan?"

Ben menggeleng. "Penyihir tingkat biasa di sini memang tidak hidup senyaman penyihir tingkat atas, tetapi setahuku, mereka tidak terlalu ambil pusing."

Kuraup rambut Ben pada bagian depan dan tengah, kemudian mengikatnya menjadi satu. Setelahnya, rambut bagian bawah yang tersisa kuikat dengan ikat rambut tersendiri. Ben terus menulis, dan kulihat dia akan selesai sebentar lagi.

"Sebenarnya aku bisa mengerti kenapa Naga Agung melakukan semua itu," ujar Ben setelah pekerjaannya selesai. Dia menyandarkan tubuh ke kursi, disertai desah napas lelah. "Walau dia tetap saja berengsek."

"Dia memang berengsek. Kuduga Beast dan Kaia memaki-makinya setelah mendengar ceritamu."

Ben mendenguskan tawa kecil. "Aku tidak yakin mereka bicara apa, tapi keduanya menggeram-geram marah."

Membayangkan Beast dan Kaia menghujat Naga Agung sambil menggosipkannya memberiku penghiburan di saat-saat melelahkan seperti sekarang. "Cuma di momen seperti inilah mereka akan kompak."

Ben meraih tanganku. "Cassie, duduklah. Ada yang ingin kubicarakan."

Keinginanku untuk kabur mendadak muncul ketika Ben sudah berkata demikian, belum lagi keseriusan dalam nada bicaranya membuatku waswas duluan. Tapi, menghindar dari apa yang hendak Ben katakan pun tidak ada gunanya. "Baiklah," aku menjawab setelah berpikir panjang.

Karena kursi sedang diduduki Ben, aku berniat duduk di ranjang, tetapi pemuda itu menahan tanganku. Ben menepuk pahanya.

Aku mendecakkan lidah seraya menarik tangan dari genggaman Ben. "Yang benar saja."

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang