Menyantap es krim bersama seorang teman yang berada di ambang kewarasan bukanlah kegiatan menyenangkan; seperti makan sambil ditodong senapan.
Barangkali bermanis ria di depan Rufus membuat indra perasaku kelu, sampai-sampai aku mampu menyantap tiga gelas es krim—atau bisa saja semua tekanan batin ini membuatku lapar. Aku bahkan tidak mengerti kenapa aku masih punya kekuatan untuk tertawa dan mengobrol dengannya walau rasanya ada lubang menganga di dadaku.
Melihat rambut dan mata Rufus yang kembali normal saat dia bahagia membuatku ingin terus mempertahankan semua itu. Terlepas dari rasa takut yang menggerogoti dari dalam, perasaan lega pun menguasai diriku tatkala melihat Rufus sedikit terlepas dari sihir yang mengekangnya.
Kami menghabiskan berjam-jam di sebuah gerai es krim hanya untuk membahas berbagai rencana perjalanan. Dari sudut pandang orang lain, kami bagaikan dua insan normal yang sedang merencanakan petualangan hebat ke seluruh belahan dunia. Aku tidak mengiakan ajakan Rufus untuk meninggalkan Andarmensia, tapi untuk saat ini, membahas rencana jalan-jalan ternyata cukup efektif untuk membuat Rufus tenang dan kembali riang.
"Baik, kita sudah membuat daftar untuk sebagian besar negara Eropa dan Amerika, tapi, bagaimana dengan Asia dan Afrika?" tanya Rufus, melihat kertas yang dipenuhi coretan rencana destinasi kami. Wajah bingung yang normal itu membuatku hampir melupakan apa yang tersembunyi di baliknya. "Hei, keluarga ayahmu punya darah Tiongkok, sementara ibumu Indonesia, benar?"
Aku memasukan suapan es krim yang sudah setengah meleleh ke mulutku, memaksakan diri menelan rasa manis demi memberiku kekuatan. "Darah Dad tidak semurni itu lagi, bahkan dia lebih mirip warga Amerika alih-alih Asia. Tapi, ibuku jelas masih punya wajah tropis khas negaranya. Kurasa itu menurun padaku."
Rufus mengulas senyum. "Tentu saja."
Bel pintu berdenting tatkala seorang gadis masuk dengan kepala celingukan. Ujung sepatunya diketuk dengan irama cepat. Sesekali dia memeriksa keluar, lalu mengarahkan pandangan kembali ke sekitarnya. Akhirnya, dia berjalan ke arah kami. "Permisi, bisakah aku minta tolong?" Gadis itu menundukkan tubuh ke dekatku. "Bisakah kau menemaniku ke toilet sebentar? Aku tahu ini aneh, tapi, kurasa ada yang mengikutiku sejak tadi."
"Siapa?" tanya Rufus, yang ternyata ikut mendengar. "Aku bisa membantu mengusirnya."
"Oh, tidak apa-apa," gadis itu menolak. "Nanti temanku akan datang menjemput. Tapi sekarang aku benar-benar perlu ke toilet."
Aku beranjak dari tempatku duduk tanpa bertanya lebih lanjut. "Aku akan kembali," ujarku pada Rufus. Gadis asing itu berjalan lebih dulu, disusul olehku dari belakang.
"Apa kau yakin baik-baik saja?" aku bertanya sekali lagi setibanya kami di toilet. "Temanku bisa membantu."
"Sekarang aku baik-baik saja." Perubahan dalam suara si gadis membuatku berhenti melangkah. Sebelum dia berbalik, rambutnya yang semula hitam berubah menjadi warna kecoklatan.
"Im...my?" Aku menyebut namanya ragu-ragu walau gadis itu sungguh berdiri di depanku. "Ini kau?"
"Bukan, aku cuma gadis misterius yang butuh bantuanmu melawan penguntit-—tentu saja ini aku, Cass!" Immy meraihku ke dalam pelukannya. Aku bahkan belum sempat memproses segala sesuatu sampai-sampai mematung dalam dekapannya.
"Ba-bagaimana-—"
"Kau bisa tanya-tanya nanti. Sekarang kita harus pergi."
"Tapi Beast masih di Dracaelum."
Immy menjauhkan diri dariku. "Ben dan Santiago sudah menjemputnya. Naga Dracaelum bersisik merah itu membantu kita."
Mataku melebar. "Gerick?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas 3: A Dance of Fire and Sorcery
FantasíaApi dan sihir. Penunggang naga dan penyihir. Persahabatan dan pengkhianatan. | • | Hampir dua tahun berlalu, Cassidy dan Beast masih menjalankan tugas mereka sebagai duta Andarmensia bagi Dracaelum. Namun, keanehan terjadi. Naga Agung ingin menghent...