Bab 6

103 18 14
                                    

Rufus mengunjungi kediaman Salvatore menjelang makan malam. Aku keluar untuk menyambutnya, sementara Immy tetap membantu Nesrin di dapur. Tadi siang aku sudah menceritakan soal pertemananku dan Rufus di masa lalu pada kedua orang tua Ben. Dengan demikian kuharap Rufus tidak dianggap sebagai orang asing yang sering datang tanpa diundang.

"Kuharap aku tidak mengganggu," ujar Rufus, seraya menunjuk buket bunga liar yang dibawa, perpaduan antara bunga daisy, cornflower biru, dan heather. "Aku membawa ini, sebagai tanda permintaan maaf karena mengganggu kemarin malam sekaligus tanda perkenalan untuk keluarga Salvatore dan teman-temanmu."

Kuterima buket yang dia buat itu. bertepatan ketika ibu Ben berjalan keluar dari dapur. Dia menyambut Rufus dengan senyum hangatnya. "Selamat datang, Rufus. Apa ini? Bunga?"

"Untuk keluargamu, ma'am." Rufus mengulas senyum simpul.

Nesrin cukup terpana ketika aku menyerahkan buket bunga tersebut padanya. "Ini sangat manis. Padahal kau tidak perlu repot-repot."

"Anggap saja ini sebagai tanda permintaan maaf karena mengganggu kalian kemarin, ma'am," Rufus berucap sopan.

Mendengar semua itu membuat Nesrin luluh seketika. "Terima kasih banyak. Bagaimana kalau kau ikut makan malam dengan kami hari ini? Meja makannya cukup untuk kita semua."

Rufus menyambut tawaran Nesrin dengan gembira, kemudian masuk ke dalam. Tidak lama setelahnya, Ben dan Mr. Salvatore pulang dari pasar. Aku buru-buru menghampiri mereka di depan rumah, segera memberi tahu segala sesuatu yang terjadi.

Ben sudah memasang wajah malas, kendati dia lebih mampu mengendalikan diri kali ini. Di sebelahnya, Mr. Salvatore hanya mengangguk-anggukkan kepala tatkala mendengar penjelasanku.

"Tidak masalah bila dia ikut makan malam," Mr. Salvatore berucap tenang. "Lagi pula, dia teman Cassidy."

Pria itu berjalan duluan memasuki rumah, sementara aku dan Ben menyusul dari belakang. Selama berjalan ke ruang makan, Ben memanfaatkan waktu untuk menenangkan diri, sekaligus melatih senyum ramahnya yang mulai kelihatan agak kaku. Setelah mendengar cerita masa lalu Rufus, dia mengerahkan lebih banyak tenaga untuk bersikap sebaik mungkin.

Aku tidak tahu bagaimana Rufus bisa terlihat berbincang akrab dengan Nesrin walau baru berjumpa sekarang. Bahkan dia mengajak Mr. Salvatore berkenalan dan ikut melibatkan pria itu dalam pembicaraan dengan kemampuan komunikasinya yang amat mumpuni.

"Aku yakin kau orang yang punya banyak teman," komentar Nesrin, seraya memindahkan makanan ke meja, dibantu olehku. "Kau pandai sekali berbicara."

"Kebetulan aku mengambil pendidikan komunikasi, ma'am," jawabnya, terlihat tersanjung.

"Sepertinya tinggal di negara lain banyak mengubahmu," aku turut berkomentar. "Seingatku dulu kau cukup pendiam."

"Sebenarnya, aku mencoba untuk tampil beda saat masuk sekolah baruku dan memanfaatkan momen itu untuk meninggalkan hal-hal yang tidak kusukai dari diriku. Tidak kusangka aku nyaman dengan diriku yang baru ini," dia menjawab bangga tanpa maksud meninggikan diri. "Tapi kau masih pendiam sampai sekarang, Cass."

"Cassie banyak bicara," Immy membantah. "Namun hanya dengan orang-orang yang dekat dengannya."

Kupikir Rufus akan segera tersinggung mendengar itu, tapi dia justru mengangguk setuju. "Dulu juga begitu. Kami selalu mendiskusikan buku bersama. Tapi setelah diskusi selesai, Cassie jadi pendiam lagi." Dia terkekeh. "Beberapa orang memang tidak banyak berubah. Benar begitu, Cass?"

Aku mengangguk kecil. "Begitulah."

Setelah perbincangan yang cukup bersemangat, Rufus mulai diam ketika makan malam dimulai. Pada tahap ini aku berharap dia tetap bicara karena kesenyapan terasa amat canggung.

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang