Bab 23

63 13 10
                                    

Ketika Beast sadar kembali, butuh waktu baginya untuk membiasakan diri dengan keadaan. Berkat sihir Ben, Beast tidak lagi menunjukkan keinginan untuk menghancurkan ruangan dan memilih untuk duduk dengan tatapan kosong.

Ben berbaik hati keluar dari kamar. Aku mengambil segelas air di nakas dan menyerahkannya pada Beast.

Nagaku mengerutkan dahi, mencoba menggerakkan kedua tangannya bersamaan dan bertindak seperti anak kecil yang baru belajar memegang gelas. Oleh karena itu, kubantu dia meneguk minumannya.

Aku tidak tahu hendak berkata apa. Aku bahkan tidak tahu apakah aku pantas bicara pada saat seperti ini. Jadi, kami berdua hanya duduk diam.

Setelah lama bungkam, Beast menoleh ke arahku. "Kau kelihatan ingin bicara."

Air mataku yang sudah sempat kering kini terancam akan kembali. Namun, kucoba mengendalikan diri di depan Beast. Entah dia mau menerima permintaan maaf atau tidak di saat seperti ini, karena kalau aku ada di posisinya, aku tidak ingin mendengar apa pun.

"Asal tahu saja, aku tidak suka kau minta maaf untuk kesalahan keparat itu," Beast mengingatkan.

"Tetap saja aku ingin mengatakannya," gumamku. "Aku bisa saja menghindari semua ini."

"Dengan apa? Mendukung Rufus?" Beast mendengus. "Semula aku bisa saja mendukung Rufus, tapi sekarang aku ingin menggigit kepala si Gila itu sampai hancur."

Beast menghela napas berat. Dia tidak mengatakan apa pun lagi.

"Erick sedang menjemput Santiago," ujarku.

"Aku tidak yakin ingin dilihat siapa pun," Beast bergumam. Dia kembali menghela napas beratnya, kali ini lebih panjang. Diamatinya kedua tangannya sendiri, lalu tubuh manusianya. "Demi Draig, tubuh ini bisa patah dalam sekejap." Dia mengusap kulit lengannya. "Rasanya seperti bayi naga baru menetas yang sisiknya belum keras."

Beast mendengus keras, campuran antara kejengkelan dan kefrustrasian. Kudengar dia mengutuk pelan.

"Apa kau butuh sesuatu?" tanyaku.

Dia menggeleng kecil. "Katakan, seburuk apa tampang manusiaku?"

Aku meneliti wajahnya sesaat. Beast terlihat seperti pria pekerja kantoran yang sudah lelah dengan hidupnya dan hanya ingin pulang ke rumah setiap harinya. Tapi bekas luka di wajah Beast juga membuatnya mirip tokoh di novel fantasi yang sudah lama ditinggal orang tersayang dan menghabiskan sisa hidupnya dengan penuh derita serta minuman keras, tetapi kelak akan menjadi pelatih bagi sang pahlawan demi menumpas kejahatan.

"Kau mau melihatnya sendiri?" tanyaku.

"Apakah seburuk itu?"

"Bukan begitu, tapi kau...," aku mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Entahlah, aku tidak bisa menjelaskan dari sudut pandang naga. Mengingat bagimu manusia kelihatan sama saja."

Beast mengerang. "Sayangnya itu benar. Toh, aku tidak akan paham apakah tampangku buruk atau bagus." Kini dia sibuk meraba kepalanya. "Apa ini? Rambut?"

"Ya, itu rambutmu."

"Apakah aku harus punya rambut?" tanya Beast. "Rasanya aneh sekali. Kenapa manusia punya banyak sekali rambut?" Beast memicingkan mata. "Dan mata kalian buruk sekali, aku yakin kalian tidak bisa melihat dalam gelap." Dia menggerakkan rahang, kemudian menyentuh giginya sendiri. "Apa yang bisa kau lakukan dengan gigi ini?"

Aku mengedikkan bahu. "Makan?"

"Makanan manusia," Beast mendengus jengkel. "Tentu saja."

"Tapi, kau kan suka kue buatan Raelynn."

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang