Membiarkan diriku dipenuhi oleh energi sihir tidak sesulit yang dibayangkan. Memang, rasanya tidak mengenakkan, tetapi semua sensasi itu masih bisa ditahan-tahan. Suasana yang tenang memberi sumbangsih besar terhadap perkembangan kemampuanku.
Lalu, tibalah waktunya untuk mempraktikkan sihir secara langsung. Mendadak kesulitan bertambah dua kali lipat ketika aku kembali disuruh mengangkat batu dengan sihir yang kumiliki saat ini. Kendati membuahkan hasil, tetap saja seonggok batu yang terlihat bergetar tidak bisa digunakan untuk menumpas kejahatan.
Jacob dan Varos tak repot-repot menyembunyikan keprihatinan dalam raut wajah mereka. "Yah, itu permulaan yang bagus," Jacob berkata, terlihat berusaha menghiburku sekaligus dirinya sendiri. "Beast juga bilang kalau kau berhasil menghalau serangan Rufus."
"Lalu aku tidak bisa melakukan apa pun lagi setelahnya," keluhku. "Kupikir aku harus belajar mantra."
Jacob menghela napas panjang. "Aku bukannya ingin menjatuhkan semangatmu—-"
Kedua bahuku merosot seketika. "Kau sudah menjatuhkannya dengan berkata begitu."
"—-belajar mantra bukan hal yang mudah," sambung Jacob tanpa mempedulikan gerutuanku. "Para penyihir terlatih sejak mereka kecil, dan aku yakin mereka sudah mengingat mantra diluar kepala, dengan pengucapan yang tepat pula. Kalau kau belajar sekarang, bisa-bisa konsentrasimu jauh lebih terganggu karena harus menghapal."
Jacob melanjutkan, "Mewujudkan sihir dengan pikiran memang gampang-gampang susah. Selama kau punya bayangan mengenai apa yang ingin kau lakukan, maka kau bisa mewujudkannya. Namun, di situasi yang mendesak, adakalanya seseorang kesulitan berpikir. Selain itu, ada hal-hal rumit yang biasanya berada di luar jangkauan pikiran manusia. Misalnya saja, untuk penyembuhan, kau butuh mantra agar khasiatnya lebih efektif."
Aku bersedekap tatkala mendengar penjelasan panjang lebar itu. "Untuk ukuran seorang penunggang naga, kau tahu banyak soal sihir."
Jacob tidak menjawab, tetapi kudapati Varos melirik penunggangnya sekilas sebelum mengalihkan pandangan lagi.
"Itu bukan hal yang rahasia," Jacob beralasan. "Sekarang, kita latihan lagi."
"Maaf, Jacob, tapi kita tidak punya banyak waktu," aku mengingatkan. "Kalau mau menunggu sampai aku lancar, mungkin dunia telah hancur dan Rufus sudah mati akibat efek energi sihirnya."
Varos menganggukkan kepala. "Gadis ini ada benarnya, Jake."
"Penunggang sebelumnya tidak butuh waktu lama untuk menguasai sihir sederhana," ujar Jacob. "Apa mungkin karena dia laki-laki?"
"Tidak mungkin ada hubungannya dengan itu," protesku.
Jacob mendesah lelah. "Baiklah, setidaknya kau harus bisa melindungi diri. Itu yang terpenting." Dia mengambil batu kecil dari tanah, kemudian tanpa aba-aba melemparnya ke arahku."
"Hei!" Aku dan Beast memprotes bersamaan walau nagaku tidak terkena lemparan.
"Lindungi dirimu," Jacob mengambil batu lainnya. "Serangan di dunia nyata tidak akan memberimu aba-aba."
Sebelum aku bisa membuat pelindung, batu lainnya kembali mengenai lenganku. Baru saja aku memejamkan mata dan mencoba menyerap energi dari permata sihir, lemparan berikutnya sudah mengacaukan konsentrasiku.
Tenang, aku berujar dalam hati. Mengabaikan serangan-serangan yang datang, kubiarkan kehangatan menyerap masuk ke dalam tubuhku sementara suara nyanyian semakin mengeras, menimbulkan sensasi pusing yang tidak menyenangkan itu lagi.
Sesuatu menghantam kepalaku cukup kuat, mengacaubalaukan konsentrasi yang sudah susah payah kubangun. Aku membuka mata, tepat ketika Beast mengambil batu dari tanah dan melemparnya ke arah Jacob.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas 3: A Dance of Fire and Sorcery
FantasíaApi dan sihir. Penunggang naga dan penyihir. Persahabatan dan pengkhianatan. | • | Hampir dua tahun berlalu, Cassidy dan Beast masih menjalankan tugas mereka sebagai duta Andarmensia bagi Dracaelum. Namun, keanehan terjadi. Naga Agung ingin menghent...