Bab 29

69 14 3
                                    

Cass..

...ssie...

Cassie?!

"Cassidy!"

Panggilan yang semula sayup-sayup bertambah keras seiring kesadaranku kembali. Dari balik penglihatan yang berkunang-kunang, kudapati Rufus sedang menatapku. Mulutnya bergerak membentuk namaku lagi, disertai teriakan dan guncangan yang lebih keras.

"Cassidy!"

"Aku bangun, aku bangun," geramku, layaknya orang yang masih mengantuk dan telah dipaksa bangun dari tidur.

"Apa yang kau lakukan?!" dia bertanya marah. "Apa kau sengaja melakukan itu?"

Sial, Rufus tahu soal tadi, aku bergumam dalam hati seraya berjuang mempertahankan ekspresi jengkel.

"Apanya?" aku pura-pura bertanya. Kujauhkan tubuh dari Rufus, walau harus menopang diri dengan kedua tangan agar tidak terjatuh.

Dilihat dari wajahnya yang tidak keruan, Rufus seakan hendak mengoceh panjang-lebar. Namun, dia berhasil mengendalikan diri dan nada bicaranya, "Kau tidak bangun saat kupanggil dan denyut nadimu mendadak lemah. Apa yang terjadi?"

Dari caranya menuntut jawaban, kelihatannya Rufus tidak tahu apa pun. Kalau dia menyadari kehadiran roh-roh naga tadi, pastinya itu akan menjadi pokok pembahasan pertamanya.

"Aku kelaparan," kudesiskan jawaban pertama yang terlintas dalam benak. Kebetulan, aku memang lapar setengah mati setelah perjalanan spiritual tadi. "Kau pikir dua bongkah roti cukup untukku dan nagaku?"

"Kau kelaparan?" Rufus kembali memeriksa tempat dia meletakkan roti, mendapati tidak ada makanan yang tersisa lagi. Setelahnya dia berdiri dan pergi dengan sihir teleportasi.

Berhubung pemuda itu tak di sini, aku segera membantu Beast duduk. Dia baru saja sadar dan juga dilanda rasa lelah. "Apa yang terjadi?"

"Rufus datang," bisikku. "Kalau dia kembali, bilang padanya kalau kita kelaparan."

"Aku memang kelaparan," gerutu Beast. Dia mengamati tubuhnya, kemudian kedua bahunya terkulai kecewa. "Yah... setidaknya jiwaku masihlah seekor naga," Beast menghibur diri. "Senang rasanya mengetahui hal tersebut."

"Tenang saja. Jiwamu masihlah seekor naga tua yang menyebalkan," aku menenangkan.

Wajah masam Beast bertambah kecut tatkala mendengarnya, walau seharusnya dia merasa senang. "Kau suka sekali menghancurkan pujian dengan hinaan, ya."

"Aku belajar dari ahlinya."

Rufus kembali dalam hitungan menit, membawa beberapa bongkah roti disertai sebuah mangkuk kayu berukuran sedang. Ketika diletakkan di dekatku, terlihat bahwa isi mangkuk tersebut adalah stew yang masih mengepulkan uap.

"Makanlah," dia menyuruh.

"Apa kau mencuri mangkuk dan sendok orang lain?"

"Itu cuma mangkuk dan sendok, Cass," Rufus membalas tak sabaran. "Makan saja."

Tidak ada waktu untuk bebasa-basi. Aku dan Beast pun tidak mempedulikan keberadaan Rufus di dekat kami. Kami menyibukkan diri dengan stew daging yang sedikit keasinan itu, kemudian turut menyantap roti gandum yang terasa terlalu kering di tenggorokan. Akan tetapi di tengah rasa lapar, lidahku menganggap semua makanan enak, selagi masih layak makan.

"Sebenarnya berapa banyak kalian harus makan dalam sehari?" tanya Rufus.

"Oh, lumayan banyak. Terutama Beast," aku menjawab dengan mulut penuh.

Rufus terlihat maklum. "Well, bapak-bapak sepertinya memang banyak makan."

"Naga memang banyak makan," Beast meralat tajam dengan mulut penuh. "Kami makan banyak untuk bertahan selama beberapa hari. Sampai akhirnya sistem tubuhku berubah gara-gara... seseorang."

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang