Bab 15.2

75 16 16
                                    

Naga Agung dulu berukuran tidak beda jauh dari seekor sapi dewasa. Itu sangat kecil dibandingkan ukurannya kini—-setidaknya sebelum Rufus mengambil permatanya.

Di sisi lain, Rufus Cilik duduk dengan lutut dipeluk. Gejolak amarahnya berubah wujud menjadi derai air mata. Naga Agung, atau sebaiknya kupanggil Agnar, mengamati si penyihir cilik dengan penuh minat. Keberadaannya masih belum disadari.

Ketika tubuh sang naga tak sengaja mengenai sesemakan, Rufus Cilik segera mengangkat kepalanya. Anak itu menghentikan tangisan dengan cepat sewaktu mendapati keberadaan seekor naga di dekatnya. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani berkutik.

Agnar menghampiri Rufus duluan. Langkahnya penuh perhitungan; matanya menunjukkan sorot berjaga-jaga sambil terus mengamati Rufus Cilik tanpa berkedip. Sementara anak yang didekati mulai bergetar sampai lupa bernapas. Rufus yang tadinya begitu termotivasi untuk memburu naga kini meringkuk. Lututnya didekatkan ke dada sementara kepalanya ditundukkan, bagaikan janin dalam kandungan.

Karena Rufus tidak memberikan perlawanan, Agnar mendekat dengan langkah yang lebih mantap. Disenggolnya tubuh Rufus Cilik dengan ujung moncong, sementara si anak mengeluarkan rengekan.

"Bukannya kau bersikeras ingin menangkap naga?" Ben berkomentar. "Ini bisa saja menjadi kesempatanmu."

"Beda cerita kalau kau hanya anak delapan tahun yang menghadapi naga seorang diri dan mendadak lupa segala sesuatu yang pernah kau pelajari," ujar Rufus. "Mungkin itulah sebab mengapa ekspektasi berbeda jauh dari realitas."

Rufus Cilik menemukan kekuatan untuk berguling menjauh karena Agnar tak berhenti mengganggunya. "Pergi," usir anak itu tanpa tenaga, sementara dia susah payah mendorong tubuhnya untuk berdiri. Agnar tersentak sejenak, tetapi masih saja berani mendekat karena Rufus belum menunjukkan tanda perlawanan.

Sewaktu Agnar bergerak maju, Rufus mulai mengingat segelintir mantra dan merapalkannya. Tangan anak itu menunjukkan cahaya samar, tetapi pemandangan tersebut membuat tubuh Agnar kaku. Sang naga memasang mode bertarung dan bergerak cepat ke depan. Rufus yang kaget malah tidak jadi merapalkan mantra dan mundur.

"Sial," aku memaki tanpa sadar ketika Rufus terus mundur dan akhirnya jatuh ke jurang. Dia bahkan tidak sempat berteriak dan hanya terdengar suara tarikan napas tajam. Saat diperiksa, rupanya anak itu hanya terjatuh ke sebuah landasan batu yang menjorok keluar dari dinding tebing. Aku dan Ben mengembuskan napas lega bersamaan.

Agnar terbang pergi, sementara tatapan Rufus Cilik mengikutinya. Anak itu tetap berada di posisinya dengan napas terengah-engah sembari terus beringsut menjauh dari tepi batuan tempat dia berada. Rufus Cilik mencoba memulihkan diri dari keterkejutannya, disertai ringisan ringan akibat tangannya tergores butiran pasir.

Adegan berpindah, dan kini kami berada di dalam kamar Rufus Cilik.

"Kejadian itu cukup membanggakan untukku," Rufus lanjut bercerita. "Orang-orang tidak akan bisa selamat dari naga di saat mereka lemah, tapi aku berhasil. Aku memang tidak punya kepala naga, atau taring, atau tanduk untuk dipamerkan, tapi ada sesuatu dalam diriku yang meluap-luap. Seakan aku baru saja menemukan gagasan yang belum pernah terpikirkan oleh orang lain sebelumnya."

Di meja belajarnya, kulihat Rufus sedang sibuk dengan lipatan-lipatan kertas. Belakangan baru terlihat kalau dia sedang membuat miniatur naga dengan kertas-kertas tersebut.

Adegan kembali berganti, dan pagi pun tiba. Yang pertama dilakukan Rufus setelah bangun dari tidurnya adalah meraih sebuah ransel, kemudian dia menghilang dengan mantra teleportasi.

Aku sudah bisa menebak ke mana anak itu pergi dan benar saja, kami kembali ke tebing tempat dia bertemu Agnar. Semula memang tidak ada siapa-siapa di sana, tapi tak lama kemudian, aku melihat seekor naga mendarat agak jauh dari tempat Rufus menunggu.

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang