Bab 12

79 18 18
                                    

Pada malam harinya, Immy berkunjung ke kediaman Salvatore untuk melaporkan hasil pengamatannya selama seminggu. Tidak ada apa pun yang dia temukan selama menemani Rufus. Dia bahkan berhasil menyelinap ke dalam kamar Rufus untuk mengambil beberapa helai rambutnya agar dapat digunakan untuk mantra pengawasan jarak jauh. Dia dan Santiago bergantian mengawasi pemuda itu siang-malam. Tetap saja, tidak sedetik pun Rufus bertindak aneh.

“Sehari-hari dia cuma bekerja di penginapan itu,” cerita Immy. “Tak jarang dia mengobrol dengan orang-orang. Kurasa ibu-ibu di Morze menginginkan Rufus sebagai menantu mereka.”

"Bukannya dia pernah ke Bumi untuk membeli buku?" singgungku.

"Hanya untuk itu," Immy memastikan.

“Artinya Rufus bersih dari tindakan kriminal?”

“Sangat bersih. Kecuali kalau kau menganggap tindakan cari muka dengan Mrs. Salvatore sebagai tindak kriminal." Immy mengedikkan bahu. “Mungkin dia rindu ibunya. Apa kau kenal ibu Rufus?"

"Aku pernah bertemu ibunya beberapa kali," balasku. Tatkala mengingat akhir hidupnya yang tidak menyenangkan itu, aku memilih untuk diam daripada mengungkitnya. "Omong-omong, terima kasih, Immy."

"Setidaknya kita sama-sama tenang sekarang. Bahkan Santiago pun ikut khawatir saat mendengar soal Rufus," cerita Immy. "Oh, ya, apa kau suka hadiahmu? Rufus bilang dia ingin memberi sesuatu sebelum kembali ke Jerman."

"Aku senang kau menyinggung soal The Inheritance Cycle." Kuamati tiga buku yang berada di atas nakasku, sementara buku pertama sedang dipinjam Ben. "Menurutmu, apakah dia tidak akan kembali lagi?"

"Kurasa," duga Immy. "Kelihatannya dia agak sendu saat membicarakan rencana kepergiannya."

Baguslah kalau dia memang mau pergi. Sekalipun dia sudah berbaik hati membelikan serial buku favoritku, tetap saja akan lebih baik kalau Rufus pulang ke Bumi untuk menjalani kehidupan normalnya dan melupakan masa lalu. Walau harus kuakui, masa lalunya bukan sesuatu yang mudah dilupakan. Kini, setiap kali melihat Naga Agung, aku akan merasakan kejengkelan tak terhingga karena sudah banyak hidup yang dia buat kacau-balau. 

"Kalau begitu, segala sesuatu akan kembali seperti semula. Rufus akan pulang ke kehidupan modern yang nyaman, kau akan sibuk mengurus kunjungan ke Dracaelum, aku bisa fokus mengurus toko bersama Santiago." Immy menghela napas panjang. "Rutinitas memang membosankan, tapi adakalanya terdengar menyenangkan."

"Kenapa menyenangkan?" tanyaku.

"Karena sesuatu yang membosankan biasanya jauh dari masalah."

━━━━━━━━━▼━━━━━━━━━

Pada minggu berikutnya, aku dan Beast kembali ke Dracaelum untuk menyampaikan jadwal kunjungan terbaru yang akan dimulai besok. Aku yakin anak-anak di Matumaini tidak sabar untuk kembali ke sini, bukan untuk belajar soal Dracaelum tapi supaya bisa mengobrol dengan naga masing-masing.

Mula-mula Beast berniat menemui Lily. Sudah cukup lama kami tidak menjumpainya di tengah kawanan iltas. Sewaktu melihat Beast mendekat, para iltas yang seusia nagaku langsung menyambut kedatangan kami.

"Beast!" Olga menyapa. "Sombong sekali kau! Kenapa tidak pernah berkunjung kemari?"

"Hari ini aku berkunjung," Beast membalas datar. Iltas lain sibuk mengerubungi nagaku, termasuk Syd, iltas yang dulu bertarung dengan Beast di Firtea Samrat sekaligus yang nyaris membunuhku. Melihat bekas luka di lehernya akibat gigitan Beast masih membuatku meringis di dalam hati. Memang benar, naga-naga di Dracaelum mengerikan kalau di bawah perintah pemimpin mereka.

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang