Bab 18

78 16 10
                                    

Pengalaman spiritual yang luar biasa tadi ternyata menguras isi perut.

Aku dan Beast berada di ruang doa hingga malam menjelang. Sudah pasti kami akan terlambat kembali ke Morze. Sebelum pulang, aku masih dijamu makan malam sederhana oleh Pendeta Shira. Naga ladre sang pendeta, Ryos, menemani Beast mencari makan.

Kuceritakan penglihatan tadi kepada sang pendeta, berharap dia bisa memberi penjelasan lebih lanjut terkait hal-hal yang aku dan Beast saksikan. Akan tetapi Pendeta Shira terlihat tidak punya jawaban atas apa yang kumaksud.

"Ini hal yang baru," Pendeta Shira bergumam. "Aku belum pernah mendengar apa pun soal saat-saat terakhir para penunggang perdana."

"Yang benar?"

"Bahkan penglihatan yang kau dapatkan ini belum dibahas dalam catatan sejarah atau kitab mana pun," ujar Pendeta Shira. "Mungkin ini hal yang sudah lama dipendam dan baru akan diungkap oleh sang dewa."

"Kalau ini begitu penting, kenapa dewa tidak mengungkapkannya saat Perang Besar?"

Untuk pertanyaan itu, Pendeta Shira hanya bisa mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu, Cassidy. Akan tetapi, kemenangan penunggang naga melawan penyihir memang dianggap sebagai bagian dari berkat dewa. Apa yang pernah kau dengar soal itu?"

"Dari yang pernah kubaca ada dua kemungkinan. Pertama, dikatakan kalau beberapa penyihir sebenarnya membelot dan membantu penunggang. Lalu, ada juga yang mengatakan bahwa Draig memberkati para penunggang dengan perlindungan sebelum perang dimulai."

Pendeta Shira mengangguk. "Pada akhirnya, pihak penyihir nyaris kalah sehingga pihak penunggang naga menyarankan perdamaian. Itu tindakan paling murah hati, sekaligus penghinaan yang tidak akan pernah dilupakan setiap keturunan penyihir. Dan tetap saja, mereka tidak percaya pada dewa-dewi," wanita itu mendengus kesal. "Apa pun itu, inti yang ingin kubahas adalah keberhasilan penunggang naga ini. Berkat macam apa yang menyertai mereka sampai bisa memukul mundur para penyihir?"

Kami sama-sama terdiam setelahnya, tidak mengetahui jawaban macam apa yang harus diberikan. Aku sibuk merenungkan peristiwa yang sudah lama berlalu itu beserta rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Ada degup semangat yang ganjil dalam diriku, seolah hendak mengungkapkan rahasia harta karun yang tak pernah disadari oleh siapa pun.

Tidak lama setelahnya, Beast dan Ryos kembali. Karena malam mulai larut, aku dan nagaku pun berpamitan dan bergegas kembali ke Morze. Sepanjang perjalanan pulang, aku masih memikirkan diskusiku dengan Pendeta Shira barusan, beserta rahasia yang tengah menantiku dan Beast di suatu tempat.

━━━━━━━━━▼━━━━━━━━━

Keesokan siangnya, aku dan Ben bersama-sama pergi ke tempat penginapan Rufus. Agar tidak menambah bahan pikiran Ben, kupilih untuk menyimpan cerita kemarin terlebih dahulu, setidaknya sampai cerita Rufus selesai.

Berbagai pemikiran buruk telah memenuhi kepalaku, misalnya Rufus kabur atau lain sebagainya. Ketika melihat pemuda itu sedang menyapu kedai makan di penginapan, entah kenapa aku merasa lega sekaligus jengkel. Bagaimana bisa pemuda ini bersikap amat normal sementara keadaan sedang kacau gara-gara dia?

Atau, mungkin Rufus tidak terlalu baik-baik saja. Saat dia mendongak ke arah kami, matanya memancarkan kelelahan yang cukup kentara, walau itu tidak mengurangi semangatnya untuk bersih-bersih demi membayar kamar.

"Hai," Rufus menyapa, tak lupa mengulas senyum. "Apa sudah ada kabar dari Dracaelum?"

"Kami telah mengunjungi para naga dan sekarang kita perlu menunggu tanggapan dari mereka. Bagaimana kabarmu?"

"Baik-baik saja. Kalian?"

Aku yakin baik diriku dan Ben tidak baik-baik saja, tetapi kuberi dia anggukan pelan. "Lumayan baik. Kami cuma mau memeriksa keadaanmu," jelasku. "Jaga-jaga agar kau tidak kabur atau semacamnya."

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang