Bab 17

88 18 32
                                    

Kami kembali ke kediaman Salvatore setelah segala urusan tuntas—-setidaknya untuk sekarang. Madam Jackson dan Mr. Lormant bilang mereka akan mengirim beberapa penunggang dan penyihir untuk membantu menjaga kondisi Morze, mengingat Rufus masih menetap di sini. Aku curiga keberadaan mereka juga bertujuan untuk mengawasiku agar tidak menjalin kesepakatan rahasia dengan teman lamaku.

Setidaknya, berkesempatan untuk kembali ke kediaman Salvatore memberiku sedikit ketenangan. Beast pun, kendati harus berpisah dengan Lily lagi, sudah merasa lebih tenang dibanding sebelumnya.

Kami menghabiskan waktu di teras rumah selama sisa hari. Beast dan Kaia sama-sama bersantai di bawah bayang-bayang kanopi rumah, sementara aku membacakan mereka Eragon. Kaia teramat senang saat kuberi tahu kalau naga utama dalam kisah ini punya sisik biru yang cantik.

"Ini tidak adil," gerutu Beast, ketika aku membocorkan naga-naga apa saja yang ada di dalam kisah The Inheritance Cycle. "Kaia mirip dengan naga tokoh utama, sementara aku naga penjahat yang bahkan tidak punya kerjaan?"

Kaia tertawa puas. "Jangan lupa kalau penunggang Saphira sama hebatnya dengan penunggangku. Cassie, apa kau yakin penulisnya tidak terinspirasi dariku dan Ben?"

"Hah! Kalau penulisnya tahu ada naga semacam dirimu, dia akan memilih menulis tentang naga hitam yang hebat serta penunggangnya yang... hm, biasa saja."

Aku cuma tersenyum kecil mendengarnya. "Aku yakin ada seseorang di Andarmensia yang sedang menggubah kisah heroik tentang dirimu, Beast. Tenang saja."

Melihatku tidak marah padanya membuat kesombongan Beast luruh. "Hm... ya... aku yakin dia lebih memilih menulis kisah soal dirimu," gumamnya.

"Sungguh? Bukannya aku cuma penunggang yang biasa saja?"

Beast tidak tahu harus membalas apa. Cakar depannya sibuk menggaruk-garuk pasir. "Ya sudah, lanjutkan saja buku yang kau baca itu."

Kaia menghela napas. "Sampai kapan pun aku tidak akan memahamimu, Beast."

"Oh? Jadi naga ur yang hebat ini tidak bisa memahamiku?" ejek Beast. "Berarti, kau tidak hebat-hebat amat."

"Halo?" Aku menyela. "Apa kita akan lanjut membaca atau kalian mau berdebat saja?"

"Cassie, kau tahu siapa yang mulai duluan," tuduh Kaia, secara tidak langsung.

"Seingatku bukan aku yang mulai menyombongkan diri," Beast membalas sengit.

Aku menutup buku. "Baiklah, aku tidak akan membaca lagi. Beast, kita pergi saja sebelum kau dan Kaia mulai bertengkar."

Ekspresi kecewa tercetak jelas di wajah Kaia. "Tapi aku masih mau mendengar ceritanya!"

"Ben akan membacakannya padamu," kutenangkan naga ur itu. "Mengertilah, Kaia. Aku sedang mencoba menyelamatkanmu."

Aku buru-buru menaiki Beast. Dia dan Kaia masih saja bertukar tatapan sinis dengan sudut moncong mengerut tidak suka. Nanti, kalau ada bahan gosip, pasti kedua naga ini bakal akur lagi.

Kami memilih menghabiskan waktu di pesisir Morze, lebih tepatnya di sebuah teluk yang dinaungi bebatuan tebing sehingga bagian dalamnya membentuk sebuah gua yang cukup untuk dimasuki nagaku dengan berjalan. Kendati sulit beristirahat di masa seperti ini, setidaknya untuk sesaat aku bisa melupakan masalah Rufus dan Naga Agung yang entah kenapa malah menjadi masalahku juga.

Belum cukup memikirkan itu, surat kaleng yang kuterima beserta sindiran dari sesama penunggang naga turut ikut bergabung dalam kepalaku, memperkuat keinginan untuk kabur dari semua ini. Semula aku sudah yakin bisa mengabaikan perkataan orang-orang mengenaiku dan Beast, tetapi kalau sampai kami gagal dalam tugas ini, bisa-bisa aku memilih hidup dalam pengasingan daripada bertemu siapa pun lagi. 

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang