Bab 13

81 17 22
                                    

Aku tidak tahu harus bersyukur atau merana ketika menyadari perkataan Beast benar.

Naga Agung tidak menghilang seperti dugaanku tadi, tetapi dia mengecil. Aku tidak bisa memperkirakan sekecil apa dia saat ini, tapi yang jelas ukuran tubuhnya telah berkurang berpuluh kali lipat. Mungkin dia jadi sebesar Kaia atau Beast. Aku pun tidak terlalu yakin dari jarak sejauh ini.

Buru-buru kunaiki punggung nagaku supaya kami bisa segera mendekati tempat Naga Agung berada. Dalam keadaannya yang seperti ini, gua naga itu terasa jauh lebih luas dari sebelumnya. Selain itu, histeria yang melanda membuatku tidak terlalu memerhatikan sehancur apa gua yang sebelumnya indah dan tenang ini. Semburan api tadi cukup kuat untuk menghitamkan nyaris setiap permukaan tanah yang sebelumnya kecokelatan serta memudarkan warna dari batuan bercahaya. Dinding gua yang tadi tampak tak tergoyahkan ikut terkena imbasnya dan hancur di beberapa bagian. Sementara tempat Rufus berdiri kini hanya menyisakan sebuah lubang menganga semata, dengan retakan tanah di sekitar.

Pemuda itu sendiri sudah hilang entah ke mana.

Aku turun dari Beast perlahan, dipenuhi keraguan dalam setiap langkah. Ritme pernapasan Naga Agung tidak bisa dideteksi dengan mata, tetapi kuberanikan diri untuk mendekatkan tangan ke cuping hidungnya. Terasa embusan samar. Dari jarak sedekat ini, aku bisa menyimpulkan kalau ukuran tubuhnya bahkan menjadi lebih kecil dari Kaia.

Permata di dahinya tidak lagi terlihat.

"Ben, Kaia, panggil anggota Fittwen," suruhku. Namun, mereka tidak perlu ke mana-mana karena naga-naga sudah mulai berdatangan.

Campuran raungan dan geraman berpadu menjadi satu. Aku buru-buru mundur supaya naga-naga bisa memeriksa kondisi pemimpin mereka.

"Apa yang terjadi?!" Saar berteriak, bertepatan ketika dia mendarat. "MINGGIR SEMUANYA!"

Aku dan Beast sudah terdesak hingga ke barisan paling belakang. Suara lengkingan naga dan pekikan mereka yang tak kunjung berhenti membuatku pusing duluan. Gua serasa dipenuhi ratusan orang.

Seekor naga Dracaelum bersisik merah gelap yang ukurannya termasuk paling besar turut memasuki gua. Raungannya membelah keributan di bawah, mendiamkan para naga yang masih tenggelam dalam kekalutan. Ketika dia mendarat, tatapannya langsung tertuju padaku dan Beast, serta Ben dan Kaia.

"Kalau kau berniat menuduh kami, maka pikirkan ulang niatmu," desis Beast.

"Selain kalian, memangnya siapa lagi yang barusan berhadapan dengan Naga Agung?" tanya naga itu, masih dengan sorot menuduhnya. Yang lebih buruk, kini semua naga ikut menatap kami dengan cara serupa.

"Kenapa kalian tidak cari saja penyusup yang mengganggu Dracaelum akhir-akhir ini? Karena dialah yang patut kalian tangkap!" nagaku membalas geram.

"Beast berkata jujur," Kaia ikut membela. "Kami tadi berdiri di ujung sana, tapi kalian lihatlah titik yang paling rusak di gua ini." Kepala Kaia menunjuk ke tempat Rufus tadinya berdiri.

"Kurasa kalian perlu membawa pergi Naga Agung," kataku, kembali menatap naga bersisik putih yang terkulai lemah itu. "Aku khawatir nyawanya dalam bahaya, dan tempat ini tidak aman baginya."

Beberapa naga bergegas mengembalikan perhatian mereka pada sang pemimpin dan beramai-ramai mengangkat Naga Agung menggunakan sihir. Semuanya dilakukan dengan hati-hati dan penuh perhitungan agar sang pemimpin tidak terluka lebih parah.

"Apa yang kalian lihat rupa si penyusup?" tanya naga Dracaelum bersisik merah itu.

"Tentu saja kami melihat," Beast menjawab sinis, masih kesal karena tuduhan tadi. "Seorang pemuda, berambut keemasan, tubuh jangkung. Naga Agung menyerangnya dan setelah itu kami tidak bisa melihat apa-apa lagi."

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang