Bab 47

94 14 25
                                    

Sebelum aku kehilangan kesadaran, ada beberapa hal yang kuingat.

Begitu tiba di depan kediaman Salvatore, aku membuat sihir perlindungan untuk seluruh Andarmensia, dari ujung ke ujung. Kupikir kalau Rufus bisa membatasi akses pada Dracaelum, maka seharusnya aku bisa melakukan hal serupa untuk Andarmensia.

Atau, mungkin aku tidak bisa pingsan dengan tenang sebelum memastikan tempatku berada aman. Ada sekelumit penyesalan karena aku pergi begitu saja sementara ada celah untuk menghabisi Rufus. Apa aku harus kembali lagi? Maksudku, belum terlambat untuk itu. Aku yakin masih bisa melawannya.

Teriakan Jacob menyela pemikiran barusan. Aku ingat dia mengambil permata dari tanganku sebelum aku melakukan hal lainnya atas dasar euforia yang sedang melimpah-ruah akibat aliran deras dari energi sihir. Segera setelah permata itu diambil, kegelapan merekah bagai tinta yang membasahi kertas.

Ketika sadar kembali, aku tidak tahu apa yang ingin kulakukan duluan: tidur lagi, makan, atau muntah. Kurasa opsi terakhir adalah yang terpenting. Mati tersedak muntah terdengar tidak menyenangkan.

Seseorang membantuku memiringkan tubuh selagi aku memuntahkan apa yang tersisa di dalam perutku. Kulihat ada ember di lantai, tetapi sebagian muntahan masih saja mengotori bagian samping seprai, membuat orang di sampingku mengerang tetapi tidak beranjak dari tempatnya duduk.

Orang itu menepuk-nepuk pundakku. "Kau mau muntah lagi atau tidak?"

Beast.

Aku menggeleng. Perasaanku berangsur-angsur membaik walau tenggorokanku serasa terbakar. Tubuhku terlalu kaku sampai-sampai aku tidak bisa kembali ke posisi semula. Alhasil, aku terus berbaring menyamping. Aroma asam yang tercium samar sama sekali tidak membantu pemulihanku.

"Kau mau minum?" tanya Beast. Aku mengangguk. Dia mengangkatku dengan hati-hati, lalu membantuku bersandar pada kepala ranjang. Disodorkannya segelas air sekaligus membantuku minum sedikit-sedikit.

"Kau gila, kau tahu itu?" tanya Beast.

Aku belum bisa bersuara, jadi kuanggukkan saja kepalaku.

Beast menghela napas. "Setidaknya kau selamat," katanya. "Kau tahu betapa khawatirnya aku tadi?"

Aku kembali mengangguk.

"Seharusnya tinggal meraih si Pelangi dan pergi," Beast mendesis, masih saja mengomeliku soal itu. "Untuk apa kau lawan dia lagi?"

Aku mengedikkan bahu.

"Bicaralah dengan mulutmu," desak Beast. "Kau membuatku semakin cemas."

"Aku tahu," jawabku, dengan suara serak yang bahkan nyaris tidak terdengar. Aku berdeham beberapa kali, mencoba membersihkan tenggorokan. "Aku cuma masih lelah."

Kedua bahu Beast yang semula tegang kini terkulai tatkala dia menghela napas. "Baiklah," katanya. "Kau mau tidur lagi?"

"Aku mau makan."

"Nesrin sudah menyiapkan makanan," jawab Beast. "Luar biasa lezat, berbeda dengan ikan-ikan tanpa rasa itu." Hanya butuh waktu beberapa detik untuk mengubah kejengkelannya menjadi keterkejutan. "Demi Draig, bukannya aku selalu makan daging mentah?!"

Aku hampir gagal menahan tawa sewaktu melihat tampang Beast memucat seketika, bahkan mematung begitu menyadari keabnormalannya. "Kita akan mengembalikanmu ke wujud semula," janjiku.

"Istirahatlah yang benar dulu," suruh Beast seraya berjuang menepis kegelisahannya. "Kau mau kubawakan makanan?"

Aku menggeleng. "Aku ingin bertemu yang lain. Mereka di sini semua, 'kan?"

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang