Bab 31

64 14 6
                                    

Kira-kira setelah sejam berada di ruang teater sekolah, aku dan Rufus memutuskan berkunjung ke Pantai Pontchartrain. Alih-alih langsung menggunakan sihir, pemuda itu memilih mengendarai sebuah mobil putih tanpa atap yang dimunculkannya hanya dalam sekedip mata. Aku tidak paham soal jenis-jenis mobil, tapi Rufus bilang itu jenis Mustang.

"Rasanya aku pernah menonton film di mana isi tong air raksasa tumpah ke atas mobil tanpa atap dan membanjiri isinya." Kucoba mengingat-ingat film tersebut, tapi tidak ada bayangan yang muncul ke dalam kepalaku.

"Akan kuusahakan berkendara sejauh mungkin dari tong air," Rufus berjanji.

Musik dari radio mengisi keheningan dalam perjalanan. Rufus tidak banyak bicara lagi. Pandangannya sibuk mengawasi jalanan di depan sembari dirinya menyeruput kopi susu yang baru dibeli.

Sejauh ini keadaan aman terkendali. Rambut pirang Rufus belum kembali sepenuhnya, menyisakan bagian hitam di akar rambut. Kucoba untuk tidak terlalu memusingkan perkara rambutnya, sebab yang terpenting adalah pengaruh sihir itu mulai memudar. Hal sesederhana ini pun bagaikan secercah cahaya di antara rentetan peristiwa tak menyenangkan akhir-akhir ini.

Musik yang tadinya mengalun dari radio akhirnya berakhir. Selama beberapa detik keheningan mengisi suasana, menyisakan derum mobil dan desau angin semata. Kemudian, permulaan dari lagu selanjutnya dimulai, kedengaran tidak begitu asing di telingaku.

"Lana Del Rey," aku bergumam pelan tatkala Ride mengalun. Mendengar lagunya serasa membawaku ke dunia lain, dan lagi-lagi ke masa lalu, ketika aku pertama kali mendengarnya.

Rufus bersenandung mengikuti alunan lagu, lalu turut menyanyikannya,

I hear the birds on the summer breeze, I drive fast

I am alone at midnight

Been tryin' hard not to get into trouble, but I

I've got a war in my mind

So, I just ride

"Kau masih ingat lagunya?" tanyaku.

"Siapa yang lupa kalau sahabatmu sering memutar lagu Lana?" tanya Rufus seraya menoleh singkat ke arahku. "Sebelum kau kenal Lorde, selalu ada Lana."

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya, lalu berdiri dari tempat dudukku.

"Cass—-"

Kuabaikan panggilan Rufus dan memejamkan mataku, membiarkan angin berembus menerpa tubuh dan mengacak setiap helai rambut. Sekilas kubayangkan diriku tengah terbang bersama Beast, melintasi awan-awan di antara lembayung senja. Udara dingin dari ketinggian tidak membuatku gentar, sebab setiap pembuluh nadiku dialiri sensasi kebebasan yang meluap-luap.

Ketika kelopak mataku terbuka, terlihat bentangan danau Pontchartrain di depan kami. Lagu berakhir tak lama setelahnya dan aku kembali duduk ke kursi. Dengan segera aku menyadari bahwa semua sensasi yang kurasakan tadi semata-mata hanya angan; kenyataan itu bagaikan ujung jemari yang menusuk dada, meninggal lubang kosong yang kecil tetapi teramat tidak nyaman.

Beast tidak di sini. Aku tidak terbang bersamanya. Kebebasanku tengah dibatasi.

Sebenarnya tak banyak hal yang bisa dilihat di Pantai Pontchartrain. Dulu terdapat taman bermain di sana, tapi sudah tutup sejak tahun 1980-an. Hari ini, yang tersisa dari tempat itu hanyalah trotoar di tepi danau tempat orang berjalan kaki atau duduk bersantai. Tidak ada lagi pasir yang tersisa, barangkali karena abrasi.

Seingatku orang tua Rufus sering datang kemari. Mrs. Stone berasal dari Santa Monica dan bisa dibilang akrab dengan laut. Selama tinggal di Louisiana, paling-paling dia berkunjung ke danau ini untuk melepas kerinduan sesaat. Ketika masa liburan, barulah keluarga Stone mendatangi pantai sungguhan.

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang