Bab 22

74 15 25
                                    

Itu perundingan terburuk dalam hidupku.

Hal pertama yang segera kuperiksa adalah permata yang tadinya dititipkan Rufus. Seharusnya benda itu masih ada di saku mantelku. Namun, ketika merongoh ke dalam, hanya sebuah batu yang kutemukan.

Seumur hidup, tak pernah aku merasa sebodoh ini. Lebih bodohnya lagi, tanganku masih saja merongoh ke dalam seakan aku bakal menemukan permata asli yang sejak awal tidak pernah berada di tanganku itu.

Semua pihak Andarmensia masih belum berpindah dari tempat kami karena tidak ada lagi Rufus maupun para naga Dracaelum. Kini, keributan dari pihak kami pecah. Semua orang, baik penyihir ataupun penunggang naga, menuntut hal yang sama: aku harus menemui Rufus Stone.

"Sudah kuduga sejak awal ini ide konyol!"

"Kau harus bertanggung jawab, Adams! Dia temanmu, bukan?!"

Beast menoleh ke arahku, bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan. Walau tubuhku gemetar dan lidahku terasa kelu, kuarahkan kepala ke arah keributan.

Keluhan dan protes masih terus berlanjut. "Seharusnya sejak awal kita habisi saja penyihir itu!"

"Katakan bagaimana kau bisa membunuh orang sekuat dirinya?!" seorang penyihir menyahut di tengah suara-suara lainnya.

"Gadis ini punya kesempatan!" seseorang berteriak sambil menunjukku. "Tapi apa yang dia lakukan? Dia malah berleha-leha dan mengunjungi pemuda itu, seolah tidak ada hal lain yang bisa diker-—"

Tidak ada yang memperhatikan ketika Beast menarik napas panjang. Raungannya yang memekakkan telinga sekaligus menggentarkan jantung itu membuat semua mulut yang semula bersuara seketika terkatup rapat. Wajah-wajah yang tadinya dipenuhi kerut marah berubah menjadi pucat pasi, terguncang gara-gara gelegar suara yang tak disangka itu.

"Mr. Lormant," di tengah keheningan, aku memanggil sang ketua dewan penyihir, "tolong pindahkan saya dan Beast ke Dracaelum."

Sekilas wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan, akan tetapi Mr. Lormant tidak pula berniat membantahku. Memangnya, apa lagi pilihan yang kami punya di situasi seperti sekarang?

"Aku akan ikut," Madam Jackson bersuara. Tatapan tajamnya terarah ke semua orang di sekitar, menyiratkan dengan jelas bahwa semua ocehan tadi tidaklah membantu sama sekali.

Madam Jackson menaiki naga infernosnya, diikuti oleh Mr. Lormant. Di sampingku dan Beast, Ben dan Kaia pun sudah bersiap.

Aku mengeratkan pegangan pada Beast ketika tubuh kami diliputi sihir teleportasi. Dalam sekejap mata, kami tiba di tujuan. Aku dan Beast berdiri di tengah gua naga Pegunungan Famhaire. Segala sesuatu terlihat normal saja di sini. Perhatian para naga terarah kepada kami, tetapi mereka tidak ambil pusing, mengira kami datang hanya untuk pertemuan lainnya dengan pihak Dracaelum. Tidak ada naga yang sadar bahwa pemimpin mereka sedang dalam cengkraman Rufus.

Kami bergegas menuju ke gua Naga Agung, berharap bisa menemukan sosok-sosok yang hendak kami temui. Mereka memang berada di sana. Gerick beserta dua naga Dracaelum lainnya masih dalam posisi kaku, tidak memberi reaksi ketika melihat Rufus melecut Naga Agung dengan cambuk yang terbuat dari sihir.

Naga bersisik putih itu berjengit dan terus menjauh saat ujung cambuk mengenai dirinya. Sihir itu meninggalkan bekas yang dalam, menembus lapisan sisik sang naga. Padahal dia bisa saja terbang pergi untuk menghindar, tapi tubuh Naga Agung sudah terlampau lemah.

"RUFUS!" Aku berteriak dari kejauhan. Rufus tidak menoleh sedikit pun. "RUFUS STONE!"

Sensasi ngeri merayapi sekujur tubuhku sewaktu Rufus tidak kunjung menoleh, sibuk menggerakkan cambuk sihir itu kepada Naga Agung sampai pada tahap di mana sang naga berhenti melawan.

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang