OUT-4

1K 82 8
                                    

Tut... Tut... Tut....

"Nggak diangkat!" Sanya menutup telepon dengan kasar. Dia berbalik, menatap tiga temannya yang begitu khawatir.

"Terus, gimana, dong?" Vanel berbalik dan menuju meja kerjanya. "Setelah evaluasi diserahin Bu Asmiati, kan?"

"Iyalah. Masa diserahin ke gue?" Melati menjawab ketus.

Jelin menggaruk kepala. "Mana pas banget dua atasan kita nggak masuk."

"Ck! Senin buruk," keluh Melati sambil berjalan menuju rak di samping meja Bu Falia. "Coba cari lagi, deh."

Sanya mendekat dan membantu Melati. Jelin mengambil gagang telepon dan mencoba menghubungi dua seniornya. Sedangkan Vanel duduk lemas di kursinya.

Beberapa menit yang lalu, Vanel diminta mengambil daftar karyawan berprestasi. Dia sudah mencari, tapi hanya ada data dua tahun sebelumnya. Tentu dia tidak mungkin menyerahkan data itu ke Lucas. Bisa-bisa makin kena amuk.

"Ada di komputer Bu Asmiati, kan?" Vanel tiba-tiba inget. "Gue inget kita ngerjain bareng, terus di-copy ke komputer Bu Asmiati."

Sanya seketika berdiri dan masuk ke ruangan bersekat kaca. "Lihat, ya! Gue nggak ngapa-ngapain!" teriaknya kemudian mendekati komputer. Dia menyalakan benda itu dan harus memasukkan password. "Ada yang tahu password-nya?"

"Nggak mungkinlah!" keluh Jelin. Dia meletakkan gagang telepon dengan kasar kemudian menuju meja kerjanya. "Bu Asmiati itu parnoan. Apapun pasti dikunci double."

"Kalau kayak gini kita sendiri yang susah." Vanel beranjak dan menuju komputer Bu Falia. Dia menyalakan benda itu dan hasilnya sama. "Ck! Pada nggak punya daftarnya apa?"

"Lo sendiri juga nggak punya! Jangan ngomel mulu," keluh Melati sambil terus mencari draft di rak Bu Falia.

Sanya keluar ruangan Bu Asmiati dengan wajah suntuk. "Pas banget lagi."

"Bener, deh! Aura negatif...."

"... jangan mulai!" potong Sanya sebelum Vanel kembali membahas soal ucapan peramal. "Kita cari bareng-bareng. Pasti ada."

"Nih!" Melati melihat daftar evaluasi tahun lalu. Dia mengangkat berkas itu kemudian berdiri. "Yang lain pada nggak becus."

Vanel menahan tawa. "Emang lo yang paling jeli."

"Bilang apa dulu?" Melati menyerahkan berkas itu dengan wajah ketus.

"Makasih, Melati yang wangi!" ujar Vanel sambil merebut berkas itu sebelum Melati bertingkah aneh. Sekarang terbukti, wanita itu berusaha merebut berkas itu. Vanel segera berbalik dan berlari keluar. "Kapan-kapan gue traktir."

"Kebiasaan," keluh Sanya.

"Dia dapet klien baru?" Jelin menatap Sanya. "Duit dia kayak nggak pernah habis." Kemudian dia menatap tas yang tergeletak di meja Vanel.

"Perlu gue cari tahu, nih!" ujar Melati. "Harus gue cari CV-nya."

"Eh, data karyawan itu rahasia!" ingat Sanya. "Bukan berarti HRD harus tahu semua data karyawan."

"Lagian gue heran. Gaji nggak seberapa, tapi beli tas mewah," jawab Jelin sambil menatap tas yang terlihat bagus.

Sanya menggaruk kepala. Dia tidak tahu alasan Vanel menyembunyikan identitasnya. Namun, wanita itu terkesan setengah-setengah menyembunyikan. Vanel terlalu stylish untuk karyawan biasa.

***

Tok... Tok... Tok....

"Masuk!"

Vanel membuka pintu dan mengintip. Dia melihat Lucas yang berdiri dengan cangkir di tangan. Perlahan dia menyelinap masuk dan menunjukkan berkas di tangan. "Ini berkas yang Bapak minta."

All OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang