OUT-15

762 62 6
                                    

Ketika sedang suntuk, biasanya Vanel akan mengajak Sanya ke restoran. Banyak orang yang rela membayar makanan mahal jika sedang suntuk. Vanel termasuk orang seperti itu. Ketika lelah atau merasa tidak bersemangat, pasti dia akan mencari makanan enak agar mood­-nya kembali normal.

"Jadi, Bu Gandis sama Bu Asmiati mencurigakan?" Sanya menanyakan itu sambil memotong steak-nya.

"Iya. Mereka kayak mencurigakan."

"Bisa jadi Pak Rohiman yang salah."

Vanel terdiam. Setelah meeting, dia mencoba mencerna setiap ucapan Pak Rohiman. Namun, lelaki itu terlihat serius saat mengatakan. Pasti ada gesture berlebihan saat berbohong. Sayangnya, Pak Rohiman tadi tampak menyakinkan.

"Lo nggak mau nyelidiki Pak Rohiman?" tanya Sanya.

"Pak Lucas nyuruh gue."

"Pak Lucas sampai turun tangan?" Sanya geleng-geleng. "Gue tahu, Pak Lucas itu nggak bisa biarin masalah sedikit aja, tapi serius dia turun tangan?"

Vanel meletakkan pisau dan garpunya lalu mengangguk. "Serius," ujarnya. "Kayaknya gue bakal nyelidikin diem-diem."

"Gue ikut!"

"Enggak! Mulut lo ember."

"Kalau ember rahasia lo udah kebongkar dari dulu," ingat Sanya.

"Hehe. Iya, sih." Vanel mengambil pisau dan garpunya dan kembali memotong daging. "Hmm...." Dia menggerakkan kedua tangan merasakan daging lembut yang memanjakan lidahnya.

Sanya ikut melahap dagingnya dan tersenyum. "Gue makmur punya temen kayak lo."

"Iyalah. Gue nggak menjerumuskan teman," ujar Vanel. "Beda sama duo Jeli. Dibaikin, malah nyurigain gue."

"Dari dulu mereka emang kayak gitu."

Vanel menatap Sanya. "Lo lebih lama dari mereka, kan?"

Sanya mengangguk. "Dulu gue paling muda. Terus, ada lowongan. Masuklah Melati sama Jelin yang sekarang kompak."

"Dari dulu mereka udah julid?" tanya Vanel heran.

"Awalnya mereka diem, tapi lama-lama jadi kompak. Mungkin udah bawaan."

"Hahaha...." Vanel terbahak mendengar kata bawaan yang diucapkan Sanya.

Drttt....

Getar ponsel tiba-tiba menginterupsi. Vanel mengambil ponselnya yang menampilkan nama mamanya. "Bentar." Dia menggerakkan tangan ke Sanya dan mengangkat panggilan. "Ya, Ma. Ada apa?"

"Van, coba kamu kirim makanan buat cowok itu."

Vanel memutar bola matanya. "Aku pikir mama udah lupa soal itu."

"Papa yang terus inget. Dia ngerasa bersalah," ujar Mama Vanel. "Tahu sendiri, papa kalau ada pikiran yang ganjel, pasti riewehnya minta ampun."

"Ya udah, mama kirim alamatnya."

"Oke, tapi kamu temui dia."

"Iya, Ma. Gampang."

"Ya udah...." Setelah itu sambungan terputus.

Sanya menatap tampang Vanel yang berubah bete. "Kenapa tante?"

"Biasa, nyoba jodohin gue," ujar Vanel sambil meletakkan ponsel. Dia melanjutkan makan dan terlihat tidak peduli.

"Kok lo bisa santai?" Sanya menatap Vanel heran. "Kalau gue jadi lo udah pasti panik. Masa iya dijodohin?"

Vanel mengangkat bahu. "Karena bukan yang pertama kali," jawabnya lalu melirik ponsel yang kembali menyala dan memunculkan pesan mamanya. Vanel mengambil benda itu dan melihat pesan yang tertera.

All OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang