OUT-52

606 51 16
                                    

"Mata lo kelihatan banget nggak bercahaya!"

Vanel mengusap sudut matanya lalu mengangkat bahu. Dia memilih melahap sushi dan melihat orang-orang berlalu lalang di mal. Malam ini, dia butuh hiburan dan akhirnya mengajak Sanya keluar.

"Kali ini kenapa lagi?" tanya Sanya sambil bertopang dagu.

"Papa sama mama tadi balik."

"Ah. Gue bahkan nggak sempet ketemu mereka."

"Lo, sih, sok sibuk!" Vanel mendengus. "Mereka titip salam."

"Salam balik."

Vanel meletakkan sumpit lalu duduk bersandar. "Mereka udah beberapa kali ke Jakarta, tapi kali ini rasanya ada yang beda."

"Beda gimana maksud lo?"

"Gue kayak nggak mau jauhan dari mereka," jawab Vanel. "Gue bahkan nangis terus, sampai apartemen."

Sanya mengangguk, meski tidak pernah berjauhan dari orangtuanya. "Coba ambil cuti aja. Nikmatin waktu lo sama orangtua lo."

"Gue juga sempet mikir gitu. Cuti tahun ini bakal gue habisin kayaknya."

"Gue boleh ikut?"

"Eh, mana boleh cuti barengan?" Vanel geleng-geleng. Dia mengambil sumpit dan memilih sushi berisi daging. Ukuran sushi itu lebih besar dari biasanya, hingga membuat pipi Vanel menggembung.

"Gue pikir lo sedih karena Pak Lucas."

"Uhuk...."

Sanya menahan tawa. Vanel melotot dengan pipi yang masih menggembung. Temannya itu memegang dada dan menepuknya pelan. "Makanya pelan-pelan!"

Vanel menggeleng tak setuju. "Pertanyaan lo bikin gue keselek."

"Haha...." Sanya mengambil sushi dan melahapnya lagi.

"Gue bete sama dia."

Sanya tidak kaget mendengar itu. "Kali ini apa lagi?" tanyanya kemudian. "Gara-gara dia sama Bu Ageta?"

Saya nggak ada pacar.

Vanel tiba-tiba ingat kalimat itu. "Dia bilang nggak ada pacar."

"Masa?" Sanya tak percaya. "Bukannya gosip terus beredar?"

"Tapi, dia bilang gitu. Masa bohong?"

Sanya mengangkat telapak tangannya ke atas. "Dari awal gue kerja emang ada yang bilang Bu Ageta sama Pak Lucas pacaran, tapi nggak ada konfirmasi dari mereka."

"Butuh emang konfirmasi?"

"Iyalah," jawab Sanya. "Atau setidaknya mereka bagi undangan. Sampai sekarang enggak ada."

Vanel mengangguk. Usia Lucas bukan lagi menjalin hubungan tanpa tujuan. Bisa jadi, di usia itu mereka langsung memilih nikah. "Enaknya gimana?"

"Gimana apanya?"

"Dia perlu gue kejar nggak?"

Senyum Sanya terbit. Dia melipat kedua tangan di atas meja dan menatap Vanel. Temannya itu selalu all out setiap jatuh cinta. Selalu ingin mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya hingga orang yang disukai menyadari itu. "Gue sebenernya nggak suka kalau Pak Lucas terus nyakitin lo. Bagi gue, udah cukup lo sakit hati gara-gara Ando," ujarnya. "Tapi kalau hati lo emang buat Pak Lucas, nggak ada salahnya coba tujukin."

"Menurut lo gitu?" tanya Vanel lalu tersenyum.

"Iya. Tapi, gue rasa harus pakai cara yang berbeda."

"Berbeda gimana?"

All OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang