OUT-21

722 64 3
                                    

"Saya bantu!"

Lucas menatap Vanel yang mengamit lengannya. Kemudian menoleh ke samping, mendapati tangan wanita itu melingkar ke pinggangnya. Lantas, dia melangkah karena tarikan Vanel.

"Bapak mau ke rumah sakit?" tanya Vanel sambil membuka pintu penghubung. "Biar saya temani."

"Nggak perlu." Lucas menyingkirkan tangan Vanel kemudian melangkah lebih dulu. "Saya nggak mau kamu bikin kekacauan."

"Kekacauan apa?"

Tubuh Lucas bergidik. Dia ingat saat Vanel mengemudi mobilnya. Wanita itu beberapa kali menginjak rem mendadak. Ketika mengendarai mobil juga kurang stabil. "Saya masih sayang nyawa," ujarnya kemudian berlari menuju mobil.

Mata Vanel memicing, tahu maksudnya. "Saya emang nggak begitu pinter bawa mobil. Tapi, sejauh ini aman-aman aja."

"Bisa jadi stok amanmu udah habis."

"Jangan ngomong gitu!" Vanel menghentakkan kaki lalu berlari menuju Lucas. "Saya antar aja."

Lucas mengeluarkan kunci dan menekannya. Dia hendak memutari mobil, tapi ada sesuatu yang menabraknya. Kemudian, dia melihat Vanel masuk ke bangku penumpang. "Kamu ngapain ikut?"

"Nggak apa-apa. Saya nggak sejahat itu biarin Pak Lucas ke rumah sakit sendirian."

"Justru kamu jahat kalau ngikutin saya."

Vanel mengangkat bahu. Dia memakai sabuk pengaman lalu melepas handuk yang melingkar di leher. Dia memilih melipat handuk itu dan meletakkan di dashboard.

"Hah! Apes apa lagi ini?" geram Lucas lalu masuk mobil. Dia memakai sabuk pengaman dan menatap Vanel yang fokus menatap depan.

"Mau saya yang nyetir?" Vanel menoleh karena Lucas tidak kunjung melajukan kendaraannya. "Ya udah, sini."

Lucas menatap depan dan mulai menyalakan mesin. "Saya nggak perlu diantar."

"Nggak apa-apa, saya temani," jawab Vanel sambil kembali menatap depan. "Papa saya pernah cerita."

"Soal?"

"Apa yang dialami Pak Lucas." Vanel menjawab dengan suara pelan.

Tubuh Lucas menegang mendengar kalimat itu. Dia melirik Vanel dan ekspresinya tampak berubah. Satu tangannya menggaruk kepala dan mencoba menghilangkan rasa canggung itu. "Sudah empat tahun berlalu."

Vanel menatap Lucas, melihat keringat sebiji jagung keluar dari pelipis. "Tapi, pasti bikin trauma," ujarnya. "Buktinya Pak Lucas masih kelihatan ketakutan."

"Saya nggak ketakutan."

"Nggak usah bohong." Vanel mengambil handuk di dashboard lalu mengusapkan ke pelipis Lucas.

Lucas menoleh saat Vanel melakukan itu. "Ngapain?"

"Pasti menyakitkan," ujar Vanel sambil menepuk pelipis Lucas sekali lagi. "Saya pernah ke lahan kakek, emang di sekitar sana nggak ada lampu, jauh dari pemukiman. Kalau kenapa-napa pasti besok paginya baru ketahuan."

"Jangan bahas itu." Lucas mengeratkan pegangannya dan melajukan mobil semakin kencang. "Kamu mau jogging, kan? Turun di sini, ya!"

"Saya mau nganterin!"

"Saya nggak butuh dianter!"

Vanel meletakkan kembali handuk di dashboard dan menatap depan. Dia sengaja tidak menjawab agar Lucas tidak menurunkannya di jalan. Entahlah, dia kasihan ke lelaki itu. Dia pernah saat sedang sakit, tapi tidak ada orang yang mengurus. Tidak enaknya tinggal jauh dari orangtua memang seperti itu.

All OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang