OUT-56

620 52 7
                                    

Sepuluh hari sudah, Vanel ditinggal pergi papanya. Dia mulai menata hidup, meski susah. Di hari ke delapan, mama dan kedua kakaknya telah kembali ke rumah. Vanel juga kembali ke apartemen.

Apartemen Vanel yang sepi, membuatnya membenci hal itu. Karena dia selalu ingat papanya. Dia tidak mencoba mengubah suasana apartemen menjadi lebih ramai. Biarlah, dia menikmati momen-momen saat mengingat sang papa.

Hari ini, Vanel telah kembali bekerja. Harusnya kemarin dia mulai kerja. Namun, dia tidak bisa membohongi kondisinya. Dia jatuh sakit dan maagnya kambuh. Untungnya, hari ini dia merasa agak mendingan.

"Vanel! Turut berduka cinta."

Vanel baru masuk ruangan dan mendapat kalimat itu. Dia mengangkat wajah, mendapati Jelin dan Melati mendekatinya. Bahkan, dua orang itu memeluknya.

"Semoga lo nggak sedih lagi," ujar Melati yang diangguki Jelin.

Vanel merasa itu kalimat tulus. Meski julid, dua orang itu tidak sepenuhnya jahat. "Makasih," ujarnya lalu melewati dua orang itu. Dia duduk di kursinya dan menyalakan komputer, meski berat.

"Aaaa! Vanel!" Dari arah luar, terdengar suara Sanya.

"Berisik!" ingat Jelin melihat Sanya yang berseru heboh.

Sanya tidak memedulikan itu. Dia melewati dua orang yang berdiri di pintu dan segera memeluk Vanel. Ketika di rumah duka, dia tidak bisa memeluk karena wanita itu terus bersama keluarganya. Lima hari yang lalu dia juga datang, tapi Vanel ke makam bersama mama dan kakaknya.

"Gue bakal bikin lo bahagia," janji Sanya sambil mengeratkan pelukan. "Jangan sedih lagi. Hidup harus tetep berjalan."

Vanel menepuk lengan Sanya. "Gue nggak apa-apa."

"Lo udah sarapan?" tanya Sanya sambil mengurai pelukan.

"Udah."

"Gue beliin cemilan, ya. Donat atau makaroni pedas?"

Vanel tampak membayangkan dua makanan yang sering dimakan saat di kantor. Tetapi, dua makanan itu tidak membuatnya tertarik. "Nggak usah."

"Kalau gitu dua-duanya," putus Sanya tidak mengindahkan ucapan Vanel.

"Lo mau minum?" Jelin beranjak ke meja kerjanya, mengambil susu kemasan yang tadi dibeli. "Nih, buat lo."

Sanya menoleh karena Jelin tiba-tiba baik. "Ya gitu, jangan jahat mulu."

"Lo yang selalu mikir kita jahat," jawab Melati.

Vanel geleng-geleng mendengar perdebatan itu. Sebelumnya, hal itu membuat hatinya terusik. Namun kali ini, dia merasa itu lebih baik. Kesunyian yang selama ini menemaninya, sepertinya mulai berangsur pergi.

***

Lucas baru sampai kantor ketika menjelang jam makan siang. Dia baru saja ke lokasi bangunan mal bersama Nuca. Adiknya itu mulai bisa diandalkan, karena pembangunan berjalan lancar.

"Siang, Pak."

Sapaan itu Lucas dengar saat beberapa langkah dari pintu. Dia melirik Saria yang berdiri dan menunduk sopan. "Pagi."

"Oh, ya, Pak...." Saria segera mengikuti bosnya. "Bu Vanel sudah kembali bekerja."

Langkah Lucas seketika terhenti. Dia menatap Saria yang tampak serius. Memang, dia berpesan ke sekretarisnya itu. "Oke, makasih."

"Sama-sama, Pak."

Lucas segera masuk ruangan dan mengeluarkan ponsel. Tiga hari sebelumnya, Vanel tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak bisa menyempatkan datang ke rumah duka.

All OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang