Hari Senin, Vanel sengaja bangun lebih pagi. Padahal, Senin-Senin sebelumnya selalu datang terlambat. Sebelum mandi, dia sudah ribet memilih pakaian untuk ke kantor. Tentu saja sebelumnya dia tidak seperti itu. Bahkan, dia menyempatkan diri melakukan perawatan agar mata bengkaknya sedikit pudar.
Semalam, tentu Vanel terus menangis. Setiap kali mengingat Ando, dia terus menitikan air mata. Bedanya, dia tidak teriak-teriak. Tentu saja karena ingat ada orangtuanya. Andai tidak, sudah pasti Vanel berteriak hingga esok harinya tenggorokannya sakit.
"Van! Mama udah bikin sarapan."
Seruan itu Vanel dengar saat sedang memilih tas. Dia menggapai tas yang jarang dipakai kemudian menyampirkan ke pundak. "Not bad," gumamnya melihat tas bundar pemberian abangnya. Dia kurang menyukai tas yang memiliki motif, tapi abangnya dengan sengaja memilih tas bermodel bundar dengan gliter yang menghiasi seluruh permukaan.
"Van!"
"Iya, Ma!" Vanel seketika tersadar. Dia berjalan keluar dan melihat mamanya berdiri di depan pintu. Pandangan mamanya tertuju ke penampilannya. Seketika dia menggerakkan tangan. "Gimana penampilanku?"
"Hari Senin kok nggak pakai seragam?"
Vanel tersenyum kecut. Dulu, dia pernah bekerja di perusahaan asuransi. Setiap hari Senin dan Rabu diharuskan memakai seragam. Mamanya tidak tahu jika dia telah pindah kantor. Ah, demi Ando dia merahasiakan semuanya kepada orangtuanya agar kedoknya tidak terbongkar. "Aku sekarang udah pindah kerja."
"Loh? Kok nggak ngasih tahu mama?"
"Nggak sempet," jawab Vanel sambil berjalan menuju dapur. Dia melihat sandwich yang disiapkan mamanya lantas mencomotnya satu.
"Gimana bisa berita penting kayak gitu kamu nggak cerita." Mama Vanel heran dengan anak perempuannya itu. "Pantesan kamu jarang ngasih info asuransi."
"Hahaha...." Vanel ingat saat awal-awal bekerja. Hampir setiap ada asuransi baru dia menghubungi mamanya.
"Sekarang kerja di mana?" Papa Vanel yang sebelumnya berada di balkon mendekati dua orang yang berada di ruang makan.
Vanel melahap sisa sandwich-nya hingga mulutnya penuh. Dia lalu menatap jam berwarna emas yang telah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. "Aku hampir telat."
"Habisin sarapanmu dulu," pinta Mama Vanel.
"Nanti aja aku ceritanya." Vanel lalu menyeruput segelas susu vanila di depannya. Dia mendekati sang mama dan memeluknya. Kemudian, dia mendekati papanya. "Aku berangkat dulu, ya, Pa."
"Papa sama mama nanti pulang."
Kalimat itu menghentikan Vanel. Dia tahu, orangtuanya pasti tidak akan bisa lama-lama bersamanya. "Kalau sempet aku anterin."
"Nggak perlu. Fokus kerja aja," pinta Mama Vanel.
"Ya udah, nanti aku kabarin!" Vanel melambaikan tangan kemudian berlari keluar. Dia membuka lemari sepatu dan memilih heels yang menurutnya paling sesuai.
Dari arah dalam, kedua orangtua Vanel memperhatikan. Mereka masih ingat semalam Vanel pulang sambil menangis. Dia pikir, anaknya itu tidak akan masuk kantor karena masih dirundung sedih. Biasanya anaknya seperti itu jika semalam bersedih. Namun pagi ini, mereka tidak menyangka jika Vanel memutuskan bekerja. Bahkan, sikapnya seperti tidak terjadi apa-apa.
"Untunglah. Aku jadi tenang ninggalin Vanel," ujar Papa Vanel.
"Aku juga. Hampir aja kita batalin penerbangan."
Papa Vanel melambaikan tangan saat anaknya itu berbalik kemudian berjalan keluar. Pandangannya kemudian tertuju ke istrinya. "Lucas pasti kecewa."
"Ah, anak itu." Mama Vanel seketika ingat dengan lelaki pendiam itu. "Kapan-kapan kita coba temui dia. Pasti, dia sekarang sibuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
All Out
RomanceVanel iseng mendatangi peramal untuk mencari peruntungan kisah cintanya. Peramal itu mengatakan jika ada energi negatif yang akan datang. Setelah itu, Vanel terlibat perseteruan dengan Lucas, bos besarnya. Apakah energi negatif yang dimaksud adalah...