OUT-47

577 51 7
                                    

Drttt....

Wanita yang berbaring miring di atas ranjang itu menggeliat pelan. Tangannya bergerak ke atas, mencari benda persegi panjang itu. Hingga berhasil mengambil benda yang terasa agak dingin.

Vanel mengangkat kepala, melihat panggilan dari papanya. Dia menggeser layar hijau lalu menindih ponsel dengan kepala. "Ya, Pa."

"Kok kedengeran lesu gitu?"

"Enggak," jawab Vanel tidak sesuai kenyataan. "Huh...."

"Papa kenal kamu, Van."

"Ya udah, emang lagi capek."

"Habis lembur?"

Kedua tangan Vanel membingkai kepala. Dia jarang lembur, berbeda dengan tim lain. Tetapi, dia sering merasa kelelahan. Terlebih akhir-akhir ini.

"Kamu tidur, Van?"

Lamunan singkat Vanel terputus. "Enggak kok, Pa," jawabnya. "Coba tidur, tapi nggak bisa. Nggak tahu kenapa."

"Pasti ada yang dipikirin. Biasanya gitu." Kali ini terdengar suara lembut.

Vanel berbaring terlentang dan meletakkan ponsel di dadanya. Matanya menatap langit-langit kamar dengan pandangan menerawang. "Hmm. Ada yang dipikirin dikit."

"Apa? Lucas?"

"Bukan!" jawab Vanel mendengar tebakan mamanya. "Jangan bahas dia, deh."

"Loh, kenapa?" Suara Papa Vanel kembali terdengar.

Vanel menutup mata dengan lengan. Air matanya perlahan turun, membasahi lengannya. Dadanya mulai terasa sesak dan ada duri menyakitkan yang tertancap di tenggorokan. "Intinya aku nggak mau sama dia."

"Loh? Dia kenapa?" tanya Papa Vanel. "Kalian waktu itu udah deket."

"Nggak bisa dianggap sedeket itu."

"Tapi, masalahnya apa, Dek?" Mama Vanel berucap lembut. "Ada masalah? Udah diobrolin baik-baik, kan?"

Vanel menggeleng pelan. Mereka tidak mengobrol lagi tentang hal itu. Sekarang, dia gengsi untuk mendekati Lucas. Terlebih lelaki itu sok cuek.

"Padahal, Papa besok mau nemuin kalian. Udah pesen tiket juga."

"Ha?" Sontak Vanel terduduk hingga ponselnya meluncur jatuh. Dia mengambil benda itu dan menempelkan di telinga. "Pa, kok dadakan?"

"Mama udah ngabarin, tapi nggak kamu bales."

Vanel mengacak rambut. Dia sering melewatkan beberapa pesan, tapi berharap mendapat pesan dari Lucas. "Ma, cuma mau main aja, kan, ke sini?"

"Sekalian ketemu Lucas," jawab Papa Vanel. "Waktu itu papa nggak sempet nemuin dia."

"Dia sibuk, Pa." Vanel berusaha mencegah.

"Dia bakal nemuin papa."

"Tapi...."

"Papa juga pengen tahu apa yang terjadi sama kalian."

Kepala Vanel tertunduk. Dia menarik rambut hingga kulit kepalanya terasa nyeri. Setelah itu dia menatap jendela kamar dengan gorden yang terbuka. "Ya udahlah. Terserah papa."

"Sampai besok, Nak."

"Sampai besok, Van!" ujar Mama Vanel.

Vanel menurunkan ponsel begitu saja lalu kembali berbaring. Dia sedang perang dingin dengan Lucas, tapi kedua orangtuanya akan datang. "Gue harus menghindar!" putusnya. Dia tidak mau kedua orangtuanya tahu dia canggung di depan Lucas.

***

Hari ini, waktu seolah berjalan begitu cepat. Setidaknya itu menurut Vanel. Dia ingat nanti sore kedua orangtuanya datang. Dia ingin menghindar. Bahkan dia sempat membujuk Sanya agar menemaninya berbelanja. Sayangnya, temannya itu sudah berjanji ke kakak sepupunya untuk menemani ke dokter kandungan.

All OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang