OUT-28

691 61 11
                                    

Cerita Lucas membuat air mata Vanel turun. Dia tidak bisa membayangkan andai tidak ada papa dan sopirnya, kondisi Lucas pasti parah. Di satu sisi dia juga kagum ke papanya yang menolong Lucas. Padahal, Lucas orang asing, tapi tidak peduli hal itu dan tetap mau menolong. Bahkan, sampai membiarkan Lucas tidur di kamarnya.

"Saya merasa utang nyawa," ujar Lucas lalu mengambil gelas di depannya. Dia menegak minumannya dengan tenggorokan tercekat lalu menatap Vanel. "Jangan nangis."

Vanel mengusap sudut mata, tapi air matanya terus turun. "Papaku baik banget, ya."

"Banget." Lucas mengangguk. "Saya yang nggak tahu diri."

"Kenapa?"

Lucas menarik napas panjang. "Saya sering sewot. Tapi, Papamu masih terus baik."

"Kamu harus minta maaf!" pinta Vanel. "Papa dari dulu emang baik, meski keras kepala. Mama sering cerita, hampir tiap hari ada tamu. Tahu, nggak, kamar tamu tiap hari dibersihin sama pembantu rumah. Ganti seprei."

"Kok saya dulu nggak disuruh tidur di kamar tamu?"

"Jelas ada tamu lain," jawab Vanel. "Kamu nggak obrak-abrik kamarku, kan?"

"Apanya yang diobrak-abrik?"

"Kali aja!"

Lucas ingat dengan kamar bernuansa pink yang tidak banyak perabotan. Om Faruk bilang jika kamar itu sudah lama tidak ditinggali dan banyak barang yang telah dibawa anaknya. Lucas hanya melihat meja belajar dengan tumpukan buku. Di kamar itu tidak ada foto, hanya lemari berisi boneka yang tentu saja tidak membuatnya tertarik.

"Kamu nggak tahu fotoku?" tanya Vanel ingin tahu.

"Foto yang di ruang tamu?"

Vanel mengangguk. "Aku cantik, kan?"

Lucas mengedikkan bahu. "Kamu di situ kelihatan masih bocah."

"Iyalah, aku masih SMP," jawab Vanel. "Kalau diinget, pas SMA udah nggak pernah lagi foto keluarga."

"Sejak kapan kamu di Jakarta?"

Vanel mengambil gelas di depannya dan meminum dengan pelan. "Waktu kuliah."

"Kuliah di mana?" tanya Lucas ingin tahu.

"Kamu nggak inget?"

"Sebelumnya kita pernah ketemu?"

"Iya. Di universe lain. Saya jadi ratu, kamu jadi pelayan. Hahaha...." Vanel terpingkal-pingkal setelah mengatakan itu.

Lucas menggaruk pelipis, Vanel kembali menjadi wanita aneh. "Kalau kita pernah ketemu, pasti saya ingat keanehanmu."

"Oh, ya? Mungkin aja kamu terlalu cuek," jawab Vanel tak suka.

Lucas tidak begitu menggubris kalimat itu. Diam-diam, Vanel menatap Lucas. Ekspresi lelaki itu masih terlihat kaku.

"Udah, jangan sedih lagi."

"Perasaan itu tiba-tiba muncul." Lucas membuang muka dan menghela napas berat. "Nggak nyangka saya ketemu anak Om Faruk."

"Kamu harus perlakuin aku dengan baik."

Lucas menatap Vanel. "Harus? Saya harus balas budi ke Om Faruk. Bukan ke kamu."

"Balas budinya dengan bentuk berbuat baik ke saya," ujar Vanel dengan senyum misterius. "Kamu jangan sampai ngecewain papa."

"Udahlah. Jangan bahas itu," ujar Lucas tepat saat pelayan menyerahkan menu utama.

Vanel tidak begitu tertarik dengan makanan yang terjadi. Dia memperhatikan Lucas yang makan dengan diam. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit. Dia mencoba membayangkan jika berada di posisi Lucas, pasti saat itu dia sudah kehilangan harapan.

All OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang