OUT-33

615 58 10
                                    

Sinar matahari yang cukup terik menyambut Lucas. Setibanya di Bali, dia segera ke rumah milik papanya berada di daerah Ubud. Lucas beberapa kali tempat itu dan terasa tenang karena begitu dekat dengan alam.

Lucas memandang rumah-rumah bergaya Bali dengan cat merah bata di bagian depan. Kemudian ada beberapa sawah hijau yang tampak asri. Dia juga melihat beberapa anak kecil pulang sekolah sambil berlarian, tampak bahagia.

Tanpa sadar, Lucas mengingat masa kecilnya. Jarak usianya dengan Nuca yang terpaut satu tahun setengah, membuat mereka seperti teman. Lucas dan Nuca pasti akan berlari ke mobil setiap dijemput. Mereka akan berebut tempat di depan. Jika Lucas menang maka Nuca akan mendiamkannya.

Begitu sampai, mereka juga berlari menuju rumah. Mereka segera mencari sang mama dan memeluknya. Setelah itu mamanya memeluk kedua anaknya dan mengajak makan bersama. Nuca yang lebih banyak berbicara akan menceritakan kesehariannya selama di sekolah. Termasuk, jika Nuca berbuat jail ke temannya. Berbeda dengan Lucas yang menceritakan nilainya di sekolah.

"Sudah sampai, Pak."

Lamunan singkat Lucas terputus. Dia mengedarkan pandang dan melihat mobil berhenti di sebuah pagar tinggi berwarna hitam. "Makasih, Pak." Lucas mengambil tas punggung yang tergeletak lalu turun.

Lucas mendekati pagar itu dan mengintip dari celah. Terlihat seseorang yang sedang menyapu halaman, padahal matahari begitu terik. "Bli."

Seseorang yang di dalam seketika menoleh. Merasa ada seseorang yang datang, dia segera berlari ke gerbang. "Loh? Lucas?" Kemudian dia membuka gerbang.

"Panas-panas gini ngapain nyapu?" Lucas berjalan masuk. Saat itulah dia melihat mangga yang jatuh dan menodai area halaman. Lantas pandangannya tertuju ke pohon mangga milik tetangga.

"Itu, mangganya pada jatuh. Ada yang matang terus pecah," jawab Bli Made. "Bli kira bakal sampai sini nanti sore."

Lucas memang sudah memberi tahu jika akan datang. Dia menepuk lelaki kurus itu lalu berjalan masuk. "Kamar sudah siap?"

"Siap. Mau dianter?"

"Kayak tamu aja," jawab Lucas sambil membuka pintu.

Hawa dingin menyambut. Lucas menatap ruang tamu dengan kursi kayu jati yang tampak mengkilat dan kokoh itu. Kemudian pandangannya tertuju ke bufet besar dari bahan yang sama. Di tempat itu dipenuhi dengan guci-guci kecil peninggalan mamanya.

Lucas berjalan masuk dan melihat ruang tengah yang berubah. Sofa panjang yang biasanya dekat tembok, sekarang dipindah dekat bagian belakang bufet. Di bagian itu juga terdapat beanbag dan speaker besar. Sudah jelas, itu perbuatan Nuca.

Pandangan Lucas lalu tertuju ke tangga kayu yang masih terawat. Dia menuju tangga sambil menatap sisi tembok yang tidak terdapat hiasan. Begitu sampai lantai atas, suasana terlihat begitu berbeda.

Lucas melihat beberapa lukisan tertempel dan ada hiasan dari kerang yang menggantung. Dia melangkah semakin masuk dan melihat alat pancing yang dipasang di tembok. Sudah jelas Nuca merombak habis-habisan.

"Ck! Tuh, anak," geram Lucas sambil menuju kamar di sebelah kanan miliknya. Saat membuka dia sempat terkejut karena di tembok terdapat lukisan barong. "Sialan, Nuca!"

"Hehe. Kata Nuca nggak boleh dipindah."

Lucas menatap Bli Made yang berdiri di dekat tangga. "Pindah."

"Masih takut lihat lukisan-lukisan gitu?"

"Kalau lukisan pemandangan saya mau," jawab Lucas sambil meletakkan tas di dekat pintu. Kemudian dia menuju balkon dan melihat area sawah yang terlihat dari kejauhan. Angin yang terasa hangat menyambut Lucas. Dia menarik napas panjang, merasa begitu damai. "Gue nggak pernah setenang ini."

All OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang